Pendamping Desa Model Kemandirian Desa

 


Pendamping desa suatu ungkapan hati, perasaaan yang tersirat dalam pikiran yang mana awal dari perjuangan hidup dan karir. Konsep pendamping sering terdengar tatkala masih di dunia pendidikan baik melalui surat kabar maupun elektronik saat itu. Belajar dari seorang bapak yang saat itu berkecimpung di salah satu Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) bertugas di tempat kelahiran saya. perjalanan, peristiwa yang dimana pendamping selalu di sapa bapak yang mengandung arti terhormat dan terdepan, begitu mendalam, merajut kebersamaan, hubungan silaturahim maupun kekeluargaan, yang tak pernah berakhir (perekat) ,Saat itu saya mulai bertanya dalam hati apakah seorang pendamping membutuhkan sekolah khusus pertanyaan juga bertanya kepada bapak tersebut apa manfaatnya Pendamping dan saat nanti...? Pertanyaan yang membuat saya terpanggil selama mengenyam pendidikan apa yang di harapkan tidak ditemukan di dunia pendidikan. Berjalannya waktu mendedikasikan diri sebagai seorang Pendamping Desa sangatlah sulit dimana latar belakang pendidikan adalah sarjana teknik sipil yang saat itu bergelut di bidang teknik. Sembari bekerja di dunia keteknikan (konsultan) sembari berdoa dan berharap kapan tugas yang sangat mulia ini (Pendamping Desa) dapat di peroleh.

Mengawali proses yang selalu di impikan, belajar dari pengalaman seorang Pendamping salah satu pendamping LSM saya mendapatkan kesempatan untuk berkarya di bidang pemberdayaan (PNPM-MPd) (tahun 2010-2015) sebagai fasilitator teknik yang bertugas di 2 (Dua) kecamatan yakni kecamatan Fatuleu dan Amarasi Barat di wilayah kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur kala itu.

Selama bertugas mengabdi sebagai fasilitator banyak pelajaran yang diperoleh sebagai fasilitator teknik maupun fasilitator pemberdayaan sampai program selesai (Fase Out). Perjalanan panjang penuh dengan suka duka dan banyak pelajaran berharga didapat dari masyarakat yang heterogen dengan berbagai perbedaaan pola pikir (politik). Berbekal pengetahuan yang tidak di peroleh di bangku pendidikan semakin disadari dunia kemasyarakatan sangatlah penting dan tidak semua mendapatkan kesempatan. Suatu tujuan mulia yakni memanusiakan manusia dalam konsep pemberdayaan dimana disanalah masih terdapat ruang kosong yang belum di berdayakan antara lain sumber daya manusia dan sumberdaya alam lokal yang belum di sentuh serta perhatian pemerintah pusat pemerintah daerah maupun sewasta kala itu. Pendamping pemberdayaan saat itu dalam aktualisasi yang masih menggunakan Stansard Operasional Pelaksanaan (SOP), Desa masih berjalan atas kebijakan Pemerintah Pusat sampai daerah, dengan sistim perencanaan Top Down (Obyek) serta kewenangan seluas luasnya belum dimiliki masyarakat desa seutuhnya.

Dalam konteks ini nilai nilai universal dalam wacana kemanusiaan didialogkan dengan khazana kerarifan lokal,visi global harus dipadukan dengan daya cerna budaya lokal. Dalam perjuangan kemanusiaan bangsa Indonesia, prsoes ini dikembangkan melalui jalan eksternalisasi dan internalisasi. Bangsa kita harus menggunakan segenap daya yang dimilikinya untuk secara bebas–aktif ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ,sebagimana tertera pada alinea keempat pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bangsa kita harus menerima apa yang disebut para pejuang, pendahulu dan dikutip “benda rohani berupa pengakuan dan memulikan hak-hak azasi manusia’’(Yamin,1956)

Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 yakni, kemerdekaan berserikat dalam mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebaginya, setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat bangsa, dan negaranya, belum maksimal memelihara dan mengembangkan semangat bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam perwakilan belum terpelihara serta mengembangkan kearifan dan kebijaksanaan dalam bermusyawarah dan setiap orang berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Dalam pembangunan(pemerataan) terkusus di Desa masyarakat belum memperoleh hak penuh untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh memiliki,meyimpan, mengelolah, dan menyampikan informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia dan belum mendapatkan kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dalam manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Bertolak dari cita-cita luhur dan pengelaman terutama mengatualisasikan yang disyaratkan Undang-undang Dasar Tahun 1945, Pemerintah Pusat menerbitkannya Undang-undang No.6 Tahun 2014 tentang Desa diterjemahkan melalui Kementrian Desa PDTT dalam bentuk kerja Pendamping Desa sebagai ujung tombak (garda terdepan).

Undang-Undang Desa memberikan pengakuan dan penghormatan atas desa, memperkuat status dan kapasitas hukum atas Desa, melestarikan dan memajukan kebudayaan Desa, memperkuat ketahanan sosial budaya masyarakat desa,memajukan perekonomian Desa dan mengembalikan masyarakat Desa berdaulat atas desanya.

Peran Pendamping Desa saat ini sangatlah penting dalam pendampingan dan mengkawal pembangunan di Desa awal di diterbitkannya UU Desa No.06 Tahun 2014, terjadilah perekrutan Pendamping Desa dan diberi pembekalan (pelatihan) dengan materi yang menjadi bekal untuk mendampingi Desa.

Undang-Undang tentang Desa diharapkan mengangkat Desa pada posisi subyek yang terhormat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena akan menentukan format Desa yang tepat sesuai dengan konteks keragaman lokal, serta merupakan instrumen untuk membangun visi menuju kehidupan baru Desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera yang selama ini TERABAIKAN.

Visi dan misi pemerintah mewujudkan kedaulatan desa sebagai pilar kebudayaan bangsa dan perekonomian nasional dan mengawal pancasila dan UUD Republik Indonesia Tahun 1945. Tidak terasa waktu berjalan 9 (sembilan) tahun berjalan Undang-Undang Desa memancarkan sprit Desa sejahtera adil dan makmur, dan membangunan Desa dari pinggiran, berbagai tantangan maupun kegagalan telah menoreh keberhasilan di peroleh oleh pendamping Desa dalam mendampingi Desa. Dalam pendampingan berbagai strategi harus di miliki oleh Pendamping tidak semata mengandalkan pendidikan ilmu yang dimiliki oleh Pendamping Desa.

 

Seiring doa dan pengharapan pertama kali ditempatkan sebagai Pendamping Desa di Kabupaten Kupang disalah satu kecamatan (Amfoang Barat Laut) dengan wilayah yang sangat sulit dan extrim, kehadiran Pendamping Desa (PD) dipandang sebelah mata, tidak diterima di tengah masyarakat, pemerintah desa dan kelompok tertentu, sehingga Pendamping Desa (PD) masih teringat dibenak saya di lontrakan dengan kata sapaan sinis (tidak melihat sesuatu kebaikan apapun dan meragukan sifat baik) Pendamping Desa (PD) dengan singkatan (Polisi Desa)!!!.

Melihat fenomena diatas tentunya bukan tidak ada alasan kurangnya pemahaman masyarakat Desa dimana kehadiran Pendamping Desa dapat merugikan, dengan kata lain tidak bermanfaat bagi masyarakat desa itu sendiri, dengan adanya pendamping desa akan mempersulit Desa melaksanakan kewenangan yang seluas-luasnya secara tidak langsung menolak kebijakan pemerintah dalam mensejahterkan masyarakat Desa itu sendiri.

Fenomena ditengah masyarakat saat itu tentunya dalam hati bergejolak bagi seorang Pendamping Desa yang baru ditempatkan kuat dugaan apa yang telah dan sudah terjadi?, ada yang kurang dalam Proses pembangunan di Desa saat itu, Desa belum terfasilitasi secara baik salah satu contoh, adanya monopoli lintas sektor oleh sekelompok masyarakat, informasi belum tersalurkan (miss komunikasi) secara baik setiap proses perencanaan pembangunan di Desa.

Dalam aspek pembangunan Desa masih sangat jauh dari harapan dengan berbagai keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang di peroleh Desa (Perangkat Desa) media informasi (telkomsel) yang belum memadai, transportasi darat yang sangat extrim (sangat tertinggal) dan penerangan (PLN) belum tersedia, hal ini memberi ruang sekelompok atau individu tertentu untuk mengambil keuntungan dalam setiap proses Perencanaan Pembangunan yang terjadi di desa. Dengan segala keterbatasan yang masih sangat kompleks di desa mirisnya Desa ibarat sapih perah (kewenangannya diambil).

Proses penyusunan APBDes (Anggaran Pendapatan Belanja Desa) salah satu contoh semua program usulan prioritas terasa diabaikan dengan alasan desa belum mampu melaksanakan kegiatan pembangunan yang berskala besar, biaya transportasi yang mahal. Usulan prioritas pembangunan didesa bersifat kolektif atau usulan prioritas kegiatannya sama (tidak sesuai dengan kebutuhan) hal ini disebabkan antara lain karena dalam pembuatan dokumen perencanan pembangunan desa cenderung ad hoc (informal, hanya syarat administratif)

Namun disisi lain tidak dapat dipungkiri Desa yang dokumen rencana tahunan (RKPDes), kurang berkualitas sehingga untuk dijadikan acuan pelaksanaan pembangunan Desa kurang memadai.,umumnya hanya usulan sarana prasarana fisik, dan dalam penentuan prioritas tidak berdasarkan masalah dan potensi yang ada di desa, melainkkan Program/kegiatan pembangunan maupun penggaran dilakukan secara merata,belum mencerminkan kebutuhan desa secara menyeluruh, usulan dari masyarakat Desa sangat kecil kemungkinan untuk direspon menjadi keputusan APB- Des, Sehingga masyarakat dan Pemerintah Desa dihadapkan pada ketidak pastian penganggaran.

Melihat kondisi yang terjadi di Desa saat itu, merintah Pusat melalui kementrian Desa PDTT di tempatkan Pendamping Desa (Tenaga Pendamping Profesional), dengan harapan dapat menjawab semua keterbatasan, kekurangan, meminimalisir ketimpangan dan kesenjangan yang terjadi di desa saat itu dalam pemanfaatan setiap Program Kegiatan (Dana Desa) dengan memberi ruang seluas luasnya seadil-adilnya bagi Desa sesuai dengan kewenangannya.

Dalam pembuatan dokumen Rancana Anggaran Biaya dan Desain, Desa harus mengeluarkan biaya yang tidak dianggarkan dalam pembiayaan (APB-Des), berdampak atas keterlambatan melaporkan laporan pertanggung jawaban (LPJ) APB- Des. Dalam Situasi (Perencanaan) ruang gelap dan konspirasi yang masif dalam pelaksanaan pembangunan maupun pemberdayaan di desa menjadi tidak bermanfaat (mubazir) karena tidak sesuai kebutuhan melainkan keinginan dan cita-cita sekelompok masyarakat tertentu.

Salah satu inisiasi cara dan metode yang dilakukan seorang pendamping Desa dalam menjawab ketimpangan yang terjadi khusunya dalam penyusunan setiap program/ kegiatan pembangunan Desa hal yang dilakukan sebagai Pendamping Desa yang tentunya sudah dibekali dengan berbagai pelatihan, modul, pemetaan sosial (social mapping) memahami kondisi sosial yang berbeda, dengan merubah Pola pikir (Mindset), mengedepankan kearifan lokal budaya daerah setempat, untuk melaksanakan cita-cita luhur yang diamanatkan Undang-undang Desa.

Sebagai contoh dalam penyusunan dokumen Perencanaan Pembangunan di Desa, dengan methode Dor To Door, mengumpulkan Desa melalui perangkat desa dan kepala desa sesuai dengan tugas fungsinya di kantor kecamatan (terkonsentrasi), untuk dilakukan penguatan dengan pembekalan (pertukaran ilmu), memfasilitasi pembuatan dokumen desain dan RAB, dokumen APBDes (Siskeudes) dan pelaporan (LPJ) sehingga metode ini menjawab meminimalisir pihak - pihak tertentu dalam menjual jasa pembuatanyan dengan prosentase tertentu, tentunya sangat merugikan masyarakat Desa dan berdampak dalam penyusunan program kegiatan yang semula satu program/kegiatan dapat menghasilkan dua sampai tiga kegiatan pembangunan di Desa.

Bertugas sebagai pendamping desa selama tujuh tahun berjalan, telah memberikan kontribusi positip bagi Desa dampingan dengan merubah sistim ketatanan pemerintahan Desa, menjadi model kerja yang mandiri dapat di aplikasi, replikasi sebagai upaya memajukan desa maju, mandiri dan sejahtera. Desa saat ini sangat membutuhkan kehadiran Pendamping Desa didalam penjabaran dan merepresentasikan setiap keputusan perundang-undangan (UU Desa no.06 Tahun 2014).

Pola perencanaan pembangunan di desa yang sebelumnya dari Top Down (Desa menjadi obyek), menjadi Bottom Up (Desa menjadi Subjek), dengan mengedepankan partisipatif masyarakat, merubah setiap proses Perencanaan, penganggaran, Pelaksanaan, pelaporan yang akuntable.

Berbagai upaya yang dilakukan sebagai Pendamping Desa bukanlah keberhasilan semata bukan tanpa tantangan melainkan proses yang raih di rasakan dengan asas manfaat oleh semua elemen masyarakat. dengan pendekatan secara formal maupun non formal (dor to door) dapat menjawab,menyelesaikan setiap ketimpangan yang terjadi di tingkat desa, dan dapat memimalisir konfilik atau persoalan yang terjadi di desa kepala desa dan perangkat tidak terjerat masalah hukum.Sebagai langkah perubahan, Desa mulai memahami setiap proseses dalam pembangunan di desa dan membutuhkan pendampingan dari Pendamping Desa.

Undang-Undang Desa dalam proses pembangunan Desa yang adil, sejahtera, makmur dan mandiri dalam penaggulangan kemiskinan terutama kemiskinan Extrem yang dilakukan seorang Pendamping Desa dengan tahapan dan strategi menjawab semua persoalan sebelum di tempatkan seorang Pendamping Desa antara lain:

Perencanaan pembangunan Desa sebagai Pendamping Desa SOLUSI YANG HARUS DITEMPU yaitu Peningkatan kualitas dengan terobosan melalui pembenahan kualitas rencana dari bawah (Bottom Up) , memperkuat kapasitas aparat Desa, Pemerintah daerah kabupaten dan pemerintah desa dalam merespon usulan dari bawah sesuai dengan potensi yang ada di Desa, serta pemantauan status perkembangan Desa.

Segala upaya pemerintah pusat menghadirkan Pendamping Desa (Tenaga Pendamping Profesional), Masyarakat Desa berhak untuk berpartisipasi dalam penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa dengan cara terlibat aktif dalam setiap tahapan penyusunan prioritas penggunaan Dana Desa, menyampaikan usulan program dan kegiatan, memastikan prioritas penggunaan dana desa di tetapkan dalam dokumen RKP Desa dan APB Desa, serta ikut serta mensosialisasikan prioritas penggunaan Dana Desa. Dalam hal pelaporan tidak dapat disampaikan dalam bentuk digital, Kepala Desa dapat menyampaikan laporan prioritas penggunaan Dana Desa secara offline dengan difasilitasi oleh Pendamping Desa (Tenaga Pendamping Profesional).

Pembiayaan atau pengaggaran kegiatan pembangunan dan pemberdayaan menjadi sangat murah (tidak merk Up),pola kegiatan sewakelolah dengan mengedepankan gotong royong masyarakat dan Padat Karya Tunai Desa (PKTD) untuk masyarakat paling sedikit 50% (Lima Puluh Porsen) dari dana Padat Karya Tunai dan memberi kontribusi PAD desa dan Kabupaten. PKTD dapat memperkerjakan ratusan bahkan ribuan orang pada saat perekonomian mengalami kelesuan pada saat negara mengalami bencana pandemi covid 19.

Kegiatan Ketahanan pangan nabati dan hewani salah satu contoh (Percetakan sawah ) khusus di Desa dampingan saat ini, menjadi model perencanaan, pengganggaran pelaksanaan pembangunan didesa (Partisipasi) dengan penganggaran yang terjangkau dan volume kegiatan menjawab semua kebutuhan (tercapai), pembiayaan sangatlah murah yang dianggarkan melalui APB Desa dengan memanfaatkan segalah potensi (lahan tidur) yang ada di desa dengan keterbatasan anggaran dapat menjawab kebutuhan , bila dibandingkan dengan sumber Dana lainnya yang masuk di Desa.

kegiatan pemberdayaan khususnya Program ketahanan pangan nabatai dan hewani paling sedikit (20%) mampu menyiapkan sedini mungkin desa menghadapi krisis Pangan, dengan pola sewakelolah menjawab semua keresahan, ketimpangan yang terjadi saat ini,dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Telah dilakukan uji petik dan direplikasi oleh Lsm dan DPR Provinsi Nusa Tenggara Timur yang membidangi, pengembangan ,pertanian, perkebunan, perhutanan, peternakan dan/perikanan yang diselaraskan dengan program unggulan pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur saat ini Tanam Jagung Panen Sapi.

Berbagai keputusan Pemerintah pusat melalui keputusan menteri Desa PDTT dan Transmigrasi menoreh keberhasilan dalam pembangunan Desa di jabarkan melalui Program/kegiatan.

Semua program kegiatan di peroleh Desa Saat ini,dengan memanfaatkan Dana Desa yang setiap tahun bertambah dilihat dari pencapian indikator-indikator dan capaian status Desa yang signifikan.

Capaian keluaran Dana Desa,salah satu jumlah tenaga kerja yang disiapkan desa dari tahun ketahun dan jumlah keluarga penerima manfaat, pembangunan Desa tercapai data angka kemiskinan menurun segingga dapat merubah Indeks Desa Membangun, Status Desa dari sangat tertinggal menjadi Desa Mandiri (Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2023)

Revolusi mental dalam berdesa harus kembali kepada UU Desa. Sesuai dengan asas rekognisi dan subsidiaritas dalam UU Desa, harus ada revolusi mental (cara pandang, sikap dan tindakan) orang luar terhadap desa. Asas rekognisi menegaskan bahwa negara maupun para pihak harus mengakui dan menghomati eksistensi desa, asal-usul desa, prakarsa desa, karya desa dan lain- lain. Pelaksanaan UU Desa, termasuk pendampingan desa, bisa menjadi momentum baru untuk melakukan revolusi mental pembangunan desa.

Kebijakan-kebijakan merujuk pada upaya pencapaian SDGs terwujudnya Desa tanmpa kemiskinan dan tanmpa kelaparan dan berbagai instrumen penilaian keberhasilan Program Pemerintah sampai dengan Tahun 2023.

Dilevel Nasional, kementrian Desa PDT dan Transmigrasi sejak Tahun 2015 setiap Tahunnya membuat Kebijakan Prioritas Penggunaan Dana Desa sebagai “Panduan” bagi Desa dalam pengelolaan Dana Desanya. Realisasi dana desa juga terus meningkat setiap tahunya dari 20,67 Triliun Tahun 2015, meningkat menjadi 70 triliun tahun 2019.

Dengan kenaikan Dana Desa setiap tahun setiap Desa membawa perubahan yang sangat signifikan dari berbagai Program/kegiatan aspek kehidupan sesuai dengan Visi dan Misi pemerintah Pusat (presiden), peran pendamping Desa MODAL/MODEL dalam pembangunan Desa (ujung tombak) langsung Negara di Desa harus mampu membuat masyarakat desa menyadari urgensi dari kebijakan SDGs Desa serta dapat menerima manfaat atas pelaksanaan untuk kebijakan untuk semua warga desa tanpa terkecuali (no one left behind) serta menjadikan Desa yang mandiri,maju,sejahtera saat ini dan masa yang akan datang .(gambaran desa di indonesia tahun 2030).

 

 

Penulis: Fransiskus A. Paru (PD Kecamatan Fatuleu)

Posting Komentar

0 Komentar