Digdaya Indonesia dari Pulau Kojagete

 


Januari 2022 datang surat perintah tugas (SPT). Ada nama saya tertera di sana. Saudara Dominika Niga Pleupina ditugaskan untuk wilayah pulau Kojagete, pulau Parumaan dan Kojadoi. Masuk dalam wilayah administratif Kecamatan Alok Timur dan berada di kota Maumere bukan berarti medan ke tiga pulau ini tanpa halangan. Sejak tahun 2016 sampai 2021 wilayah kerja dari desa-desa di daratan pulau Flores dalam wilayah kabupaten Sikka memang tanpa adanya tantangan yang berarti. Aman dan berjalan baik. Kira-kira begitu refleksi saya selama kurang lebih lima tahun menjadi pendamping desa.

Hati saya bergetar, sebagai seorang perempuan yang suka dunia petualangan nyali saya sebenarnya cukup ciut. Kisah tentang laut Flores yang tenang tetapi selalu rawan tsunami seperti membuncah dalam isi kepala. Ada kelebat bayang-bayang kecemasan misalkan sedang berlayar lalu tsunami seperti 1992 saat melanda Flores. Ditengah kelebat getir kecemasan itu saya membatin. “Tuhan telah menjawab doa saya, jadi seorang pendamping desa. Bukankah dari kecil saya sudah punya mimpi kerja dekat dengan orang-orang desa?”.

Kamis, 17 Maret 2022 hari pertama dengan sepeda motor Honda Beat saya melaju ke Desa Darat Pantai, Kecamatan Talibura. Jarak tempuh dari kota Maumere kira-kira 43 km. Tiba di sana saya harus masuk lagi ke dermaga penyeberangan dengan jalanan yang rusak parah sekitar 5 km untuk mencapai dermaga. Sebuah motor ketinting siap berangkat. Honda Beat saya tinggalkan dan pelayaran pertama ke Desa Kojagete dimulai. Laut biru nan bersih. Kurang lebih 30 menit berlayar dan hanya takjub memandang pulau di depan yang sebentar lagi jejak kaki dan impian saling belajar memberdayakan dan membangun desa itu seperti menghilangkan semua kecemasan di awal.

Desa Kojagete. Satu dari tiga desa selain Parumaan dan Kojadoi. Ini desa yang paling menantang. Tidak lagi soal jarak tempuh dan ongkos sewa ketinting Rp100.000 – Rp200.000 sekali pelayaran ke sana, tapi niat hati untuk peluang apa yang bisa saya sumbangkan dalam gagasan bersama untuk dielaborasi dan jadi kerja nyata di desa. Secara geografis pulau ini adem dengan udara paling bersih. Wilayah pulau yang penuh hutan belantara dan air bersih yang berlimpah.

Ibu Yulita Bety Wuwur (42) salah seorang staf desa menyambut dengan ramah. “Selamat datang di desa kami ibu Mimi,” sapanya dengan senyum yang gembira. “Kami senang dapat pendamping perempuan,” lanjut ibu Bety lagi. Masih dalam hati saya bilang pada diri saya, “saya harus jadi sosok pendamping perempuan yang bermakna bagi orang- orang di desa.” Ini adalah amanat dari implementasi UU Desa No 6 Tahun 2014.

Di Desa Kojagete warga hidup berdampingan dengan ikatan kekerabatan yang sangat kuat terjalin. Hubungan antar warga yang penganut Katolik dan Islam pun sungguh-sungguh menampakan wajah toleransi yang sesungguhnya. Ini kesan pertama dari betapa berdigdayanya ke-Indonesiaan yang hidup dalam diri orang-orang sederhana di Dusun Nanga, Dusun Nenbura dan Dusun Nele di desa itu.

Dari pengalaman ada bersama ada dua persoalan pokok yang sesungguhnya berkutat di desa ini. Pertama soal infrastruktur jalan yang menghubungkan antara 3 dusun. Kedua masalah stunting sebagai akibat dari tingginya angka pernikahan anak di sana.

Bayangkan untuk pulau dengan luas hanya 233.00 ha dan dengan jumlah jiwa 1603 mobilisasi warga antar dusun terpaksa harus menggunakan sampan kayu untuk urusan-urusan kekeluargaan dan bahkan kadang urusan pemerintahan desa. Untuk masalah kesehatan dalam catatatan dan amatan pribadi saya setiap tiga sampai dengan empat bulan ada pasangan yang menikah berkisar 15-20 pasang. Dan angka ini rata-rata didominasi oleh pernikahan remaja. Dampak dari pernikahan remaja ini adalah kesadaran pola asuh ketika memiliki anak sangat lemah. Dengan demikian angka stunting dan kekurangan energy kronis (KEK) pada ibu hamil selalu jadi momok yang menakutkan juga.

Dari dua akar persoalan di atas, gebrakan bersama untuk menjadikan Kojagete berdigdaya adalah keutamaan yang tidak hanya sekadar konsep tapi juga kerja nyata. Bersyukur perjumpaan bersama kepala desa bernama Bapak Malik yang selalu penuh vitalitas, Bapak Markus M. Kroko seorang Sekretaris Desa yang cekatan dan Pak Suhut, bapa desa sebelum Bapak Malik yang selalu mau mendengarkan, ibu Nur Helmianti yang rumahnya jadi tempat saya melepaskan penat dari kerja sebagai pendamping dan ibu Bety dan Irena yang selalu sigap ikut membantu jadi vitamin buat diri pribadi saya.

Impian agar Kojagete yang dari ukuran indeks desa membangun (IDM) masih tertinggal paling kurang harus segera nampak wajah perubahannya adalah target bersama kami. “Kita musti buat sesuatu ibu agar wajah Kojagete ini berubah juga. Ini sudah delapan tahun dari berjalannya aliran dana desa hanya belum nampak juga. Semoga ibu bisa ikut membantu memberikan terobosan agar infrastrukur jalan dalam desa lebih baik,” kata Pak Malik penuh harap.

Pertemuan dan diskusi lepas sana-sini sampai dengan membangkitkan semangat warga demi penataan kampung dan wajah infrastrukur jalan agar mobilitas mereka lebih hidup yang kami ‘provokasi’ sepertinya berbuah manis. Kata kuncinya adalah pertama-tama swadaya. Membayangkan mendatangkan mesin alat berat yang didatangkan dari Pelabuhan Laut Maumere tampaknya tidak mungkin. Sewa sekalipun pasti pemilik atau kontraktor pasti pikir-pikir. Resikonya terlalu berat. Buah ‘provokasi’ untuk kerja swadaya awal membuka jalan bersama terjadi tanpa adanya kendala. Pada lubuk hati yang paling dalam bersama semua perangkat desa dan teman pendamping teknik kami tentu bergembira.

Dengan mengambil pos alokasi dari dana desa tahun 2022 sebesar Rp51.159.800 jembatan Nanga Doi 1 berhasil dibangun dengan kualitas sangat baik. Rabat jalan Loang-Gusung Karang sepanjang 150 M dan rabat jalan Gusung Padang-Urundetu dengan alokasi Rp86.273.000 dengan kondisi sangat kuat dan mulus. Dan untuk kebutuhan air yang terus terjaga bak penampungan air dengan biaya anggaran Rp64.660.000 pun kini bis diakses warga. Perjuangan dari sebuah pulau kecil di kawasan yang berjarak 25 km dari lepas pantai Maumere dengan ketinggian 800 meter di atas permukaan laut ini pun menunjukkan kedigdayaannya.

“Ibu Mimi saya senang sekali, dari awal saya selalu bilang kami senang dapat pendamping perempuan,” ucap ibu Bety lagi saat pembangunan jembatan dan rabat jalan sukses dan lancar. Saya akhirnya paham kata-katanya saat pertama kali saya tiba di Kojagete. Pada bidang kesehatan langkah strategis yang coba dikerjakan bersama adalah kampanye makan ikan sebagai solusi untuk menekan angka stunting. Kojagete adalah penghasil ikan terbaik untuk wilayah kabupaten Sikka. Potensi ini musti jadi upaya agar kampanye makan ikan segar berjalan. Pemberian makanan tambahan dan asupan gizi lainnya seperti sayur, telur dan susu pun ikut masuk dalam program wajib.

“Butuh proses memang tapi dari yang jumlahnya ratusan sebagai pendamping desa total tersisa 24 anak dan 2 ibu hamil yang mengalami KEK adalah capaian yang tentunya sangat berarti,” begitu kata Malik, Kepala Desa yang daripadanya vitalitas bahwa Kojagete, salah satu desa di sebuah pulau kecil di kawasan timur Indonesia pasti ikut berdigdaya. Saya tentu senang dan bilang dalam hati kecil saya; “ini kerja belum selesai, belum apa-apa.”

Refleksinya adalah bahwa dengan permasalahan dan kendala yang dihadapi oleh Pemerintah Desa dan masayarakat setempat dalam membangunan desa, membuat saya merasakan bahwa menjadi pendamping desa tidaklah mudah dengan segala bentuk kelebihan dan kekurangan di luar SOP pendampingan juga harus mampu memposisikan dirinya sebagai tempat untuk bertanya, menampung permasalahan atau kendala yang dihadapi para Aparatur Pemerintah Desa, kelompok masyarakat dan memberikan alternatif pemecahan masalah dengan tetap keputusan ada di tangan kelompok masyarakat sendiri. Kami masih satu punya pekerjaan rumah lagi yang pokok. Listrik harus masuk ke pulau ini. Terobosan dan daya juang siap kami kerjakan lagi. Digdaya Indonesia harus juga mulai dari Kojagete.



Penulis: Dominika Niga Pleupna (Pendamping Desa Kecamatan Alok Timur Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur)

Posting Komentar

0 Komentar