Pengelolaan Dana Desa: Berdaya, Terpedaya atau Ketergantungan

 


Dengan berlakunya kebijakan Dana Desa menuntut adanya kemandirian desa agar mampu berkuasa untuk menentukan arah pembangunan baik dari sisi perencanaan, pengawasan hingga pertanggungjawaban pada tingkat desa oleh karena itu pemerintah dan masyarakat desa harus melihat dengan jelih kebutuhan dan persoalan yang sangat utama untuk segera diatasi menurut keinginan lokal. Pemberdayaan masyarakat desa melalui penerapan undang-undang tersebut secara lugas dapat diartikan sebagai suatu proses untuk membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat juga perubahan perilaku       dan pengorganisasian.   

UU Desa telah mengakui konsep pemberdayaan ini dan mendorong agar desa berdaulat, mandiri dan demokratis yang mana berdaulat dalam pasal 5 UU Desa yang menegaskan bahwa desa tidak lagi menjadi bawahan kabupaten dalam hal hanya mengikuti arahan tanpa bisa bersuara akan keinginan sendiri agar dapat berdaya dan mandiri dan memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2018 tentang pengelolaan Dana Desa pada pasal (1) ayat (1) yang dimaksud Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada prinsipnya pengelolaan Dana Desa bagian yang tak terpisahkan dari pengelolaan keuangan Desa dalam APBD, seluruh komponen kegiatan yang dibiayai, direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secara terbuka dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat desa karena semua kegiatan harus dipertanggung jawabkan secara admistratif, teknis, hukum dan harus terarah, ekonomis, efesien, efektif, berkeadilan dan juga terkendali.

Setiap desa atau kampung di Indonesia bahkan Papua bisa mendapatkan kucuran dana hingga melebihi 1 miliar bahkan lebih melalui 3 sumber yaitu Dana Desa (DDS),Anggaran Dana Kampung (ADD) dan Bantuan Provinsi Papua yang disebut Prospek Dana Otonomi Khusus (Otsus). Hal ini menuntut agar desa mampu mengelola dan berdaya hingga mandiri dengan membangkitkan roda perekonomian yang baik namun hingga kini belum tertampak adanya kemandirian desa yang cukup signifikan di Papua, gambaran perbandingan kondisi sebelum dan pada saat diberlakukanya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 terhadap pembangunan sesuai dengan arahan dan amanat dari undang-undang tersebut.

Lebih lanjut muncul pertanyaan bahwa ‘’Apakah kebijakan Dana Desa sudah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa?, Sudahkah mampu berdaya bukan terperdaya dan ketergantungan?, dan bagaimana partisipasi masyarakatnya, Keterbukaan (Transparansi) dan Pertanggungjawaban (Akuntabilitas) seberapa besar pengaruhnya?. Hal ini sedikit akan diulas pada Distrik Manokwari Selatan Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat dan beberapa studi kasus pada desa atau kampung-kampung dengan gambaran wilayah tipologi desa sebagaimana hasil pendataan IDM 2022, desa-desa di Kabupaten Manokwari masih banyak desa tertinggal walupun ada peningkatan dari tahun sebelumnya yaitu banyak desa sangat tertinggal. Menurut data BPS pada tahun 2020 Kabupaten Manokwari merupakan ibu kota dari Provinsi Papua Barat yang memiliki luas wilayah 3.168,28 Km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 192.663 Jiwa yang tersebar pada 9 distrik, 9 kelurahan dan 164 desa dengan topografi wilayah pesisir, pegunungan hingga dataran.

Beberapa persoalan yang muncul menjadi tantangan untuk pemerintah kampung agar dapat menyelesaikan masalah mendasar seperti ketersediaan rumah,jalan,ketahanan pangan meningkatkan perekonomian yang baik namun masih ada yang menjadi catatan penting yaitu isu kemampuan aparatur atau sumber daya manusia yang terus menjadi persoalan dikarenakan pendidikan,ketrampilan dan akses informasi yang juga masih menjadi kendala. Begitu juga dalam hal pertanggungjawaban untuk pengerjaan penyusunan pelaporan masih banyak ditangani oleh tenaga pendamping baik lokal dan pendamping desa sehingga proses pemberdayaan masih belum bisa berjalan sesuai dengan tugas pokok dari pendamping secara efektif.

Sebelum adanya pemberlakuan kebijakan dari pemerintah pusat kepada kepala desa atau kampung yang disebut di Papua yang di pahami oleh kalangan masyarakat asli lokal adalah pembangunan berupa bentuk bangunan fisik yang harus ditonjolkan seperti salah satunya adalah pembangunan perumahan dikenal dengan dengan sebutan atau istilah dari masyarakat yang menyebutnya sebagai “Rumah Jokowi” ketika program Dana Desa ini muncul padahal prioritas dari undang-undang adalah pembangunan yang hanya bisa dinikmati oleh khalayak umum namun aspirasi tersebut terus disuarakan hingga ada kebijakan dari Kementerian Desa bagi kampung diijinkan untuk membangun dan mengejar pembangunan rumah tanpa dengan jelih memperhatikan keseimbangan roda perekonomian yang juga memegang peranan penting hal ini membuat aparat kampung dan kepala kampung juga hasil musyawarah lebih banyak mengejar pembangunan fisik dalam satu tahun anggaran bisa dibangun hingga mencapai 5 sampai 7 bangunan fisik rumah sebelum adanya wabah covid-19 di akhir tahun 2019.

Hal tersebut tentu menjadi ketimpangan yang bisa diukur dari data rekapitulasi Indeks Desa Membangun untuk Kabupaten Manokwari yang masuk pada kategori Mandiri belum ada, Maju 5, Berkembang 26, Tertinggal 77, Sangat Tertinggal 56 Kampung di Tahun 2021, Memasuki tahun 2022 mulai ada peningkatan kampung Mandiri 2,Maju 7, Berkembang 38, Tertinggal 82, Sangat tertinggal 35. Lebih detail untuk melihat arah pembangunan yang kurang seimbang pada Distrik Manokwari Utara data menunjukan banyak kegiatan fisik yang lebih banyak ditonjolkan dengan 18 Desa tertinggal 2 berkembang dan 1 desa sangat tertinggal pada pemutakhiran data di tahun 2022 (Sumber ; Indeks Desa Membangun,IDM 2022) yang telah dihimpun banyak anggaran yang dipakai untuk pembangunan fisik namun aspek sosial, ekonomi, kelembagaan, kesehatan, pendidikan dan pembangunan lainya masih memiliki nilai pencapaian yang kurang menonjol.

Sampai sejauh ini pemerintah desa telah sedemikian akutnya terlena dan ketergantungan terhadap dana transfer baik itu Dana Desa, Alokasi Dana Desa, BHP dan BK. Tertampak bahwa masih kurang kreatifnya para pemangku desa dalam meningkatkan Pendapatan Asli Desa dengan menggali dan menumbuh kembangkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia desanya.

Sebagaimana para penggerak yang ada di desa sedemikian kronisnya pemikiran para pemangku desa hingga mencerminkan ketidakberdayaan dalam menyelenggarakan pemerintahan desanya bila tidak ada dana transfer. Semestinya harus menyadari sampai sejauh ini bahwa dana transfer itu tidak akan terus diberikan suatu saat nanti pasti akan dihentikan ketika desa-desa harus sudah memasuki dan berada pada fase kemandirian.

Pada kampung di Distrik Manokwari Selatan ini menjadi perhatian paling penting disebabkan masih banyaknya pelaporan teknis dan administrasi semua bergantung pada pendamping. Gairah meningkatkan aktor-aktor pelaku pembangunan di desa belum berjalan baik dan efektif dikarenakan fokus dan tugas utama pendamping menjadi terbagi. Kepala Desa dan pemangku kepentingan desa juga masyarakat disini kurang memanfaatkan sumber daya alam juga bagaimana menumbuhkan perekonomian sebagai sumber pendapatan asli desa agar mampu mandiri, seharusnya dana desa yang terus dikucurkan mampu menjadi perangsang pertumbuhan tersebut namun pada kenyataan kampung-kampung lokal belum mampu berdiri sendiri.

Beberapa destinasi yang bisa berkembang pada beberapa kampung di Distrik Manokwari Utara berada pada kawasan pesisir yang memiliki daya tarik wisata pantai karena berbatasan langsung dengan kawasan laut pasifik dan merupakan salah satu tempat penangkaran tukik juga tempat bertelurnya hewan laut penyu disalah satu kampung yaitu Kampung Mubraidiba jika dikelola dengan baik bisa melalui Bumdes yang terbentuk bisa menjadi salah satu sumber pemasukan. Ini menjadi penanda bahwa dana desa butuh rangsangan dari actor-aktor lokal agar mampu terlepas dari belenggu ketergantungan untuk dapat mengelolanya secara berkelnjutan.

Pada tingkat awal perencanaan atau musyawarah desa terdapat kepentingan- kepentingan atau kelompok-kelompok masyarakat yang saling bertentangan yang tentu menjadi hal yang biasa untuk mencapai sebuah mufakat atau kesepakatan namun keputusan yang dipegang oleh kepala desa itu sendiri disini belum memiliki peran kuat hingga ada yang belum mendapat bagian yang cukup adil secara merata dikarenakan unsur budaya masyarakat sebagai pemilik hak ulayat yang memegang keputusan kuat dan bisa mempengaruhi, ini tentu berpengaruh terhadap proses perencanaan tersebut dikarenakan realisasi berjalan dengan membawa banyak ketidakpuasan walau sudah mencapai kesepakatan.

Seperti pada kasus di Salah satu Kampung di Distrik Manokwari Utara Kabupaten Manokwari Provinsi Papua Barat dimana proses partisipasi masyarakat untuk kelompok tani Gapoktani menginginkan pembagian bibit tanaman jangka panjang maupun jangka pendek langsung saja diserahkan kepada petani/pekebun perorangan dan dikelola masing-masing yang akan ditanam dipinggir halaman rumah dengan menanam bibit tersebut tanpa mau membuka lahan umum untuk digarap bersama-sama.

Hal Ini menunjukan bahwa partispasi masyarakat dalam perencanaan sampai pada praktek berkurang kerjasamanya tentu juga akan sulit dalam pertanggungjawaban begitupun kelompok nelayan yang mendapakan bagian dana yang kurang hanya sekitar 10% dari 40% dana reguler namun masih tetap menerima walau merasa kurang adil dengan memaksimalkan penggunaan dana tersebut. Ada juga di kampung lainya pada praktek perencanaan terjadi perubahan dalam satu tahun anggaran yang tidak terlalu diperlukan akhirnya terjadi perubahan APBKam hanya karena tuntutan kelompok masyarakat yang memegang kendali kuat.

Bentuk partispasi lainya yang masih kurang diperhatikan yaitu masyarakat penyandang disabilitas tunarunggu,tunawicara, dan masyarakat yang masih buta huruf karena tingkat pendidikan yang rendah bahkan tidak bersekolah sama sekali belum mendapat perhatian atau didengarkan aspirasi mereka dan yang cukup berpengaruh adalah lawan politik tingkat desa yang menginginkan jabatan tingka aparat desa masih ada pengaruh kelompoknya yang kuat. Hal-hal tersebut terjadi hingga menyebabkan terdapat kekurangan yang tertampak jelas disini tentang partsipasi dalam hal pengambilan keputusan, Partisipasi dalam pelaksanaaan dan partisipasi dalam evaluasi dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat untuk mengkritisi yang dalam bahasa masyarakat lokal adalah banyak memprotes output dan outcome program yang telah dijalankan.

Menyadur atau melihat pada sebuah penulisan yang dikeluarkan oleh Jurnal Lensa Ekonomi dari Universitas Papua (UNIPA) Manokwari pada tanggal 01 Juni Tahun 2021 dengan judul (Pengalokasian dan Pemanfaatan Dana Desa dengan Studi kasus pada Kampung Saubeba Distrik Manokwari Utara, Kabupaten Manokwari) yang menyatakan tentang persepsi masyarakat terhadap pelaksanaan pembangunan dengan dana yang telah di alokasikan khusus buat desa yang  mendapat  berbagai  tanggapan  masyarakat  tentang pemanfaatan dana desa tersebut menunjukan bahwa jawaban dari masyarakat yang paling dominan yang menjawab terhadap pemanfaatan dana desa di Kampung Saubeba sudah tepat sasaran atau sesuai dengan peraturan yang berlaku, terkecuali dalam hal pengetahuan penduduk tentang fungsi dari pemberian dana desa tersebut.

Pertanyaan yang dimaksud disini telah dirangkum melalui 10 butir soal pertanyaan untuk 75 warga dari 307 kepala keluarga pada tahun 2021 dari berbagai usia,gender dan latar belakang suku dan agama yang aktif dikampung tersebut mengenai pemanfaatan dana desa beberaepa pertanyaan diantaranya : Apakah masyarakat kampung sudah mengetahui fungsi dari pemberian dana desa?, Apakah Pemerintah Desa sering menyalahgunakan anggaran desa?, Apakah ada dampak baik yang dirasakan masyarakat terkait program dana desa?, Apakah pembangunan desa sudah berpihak pada warga/penduduk?.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan 100% responden dari masyarakat menjawab YA dari pemanfataan dana desa sudah cukup bermanfaat, dan masyarakatpun merasakan bahwa dana desa sudah berpihak pada warga/penduduk dan penduduk juga sangat tertarik dengan pemberian program Dana Desa ini. Pemanfaatan dana desa sendiri berbeda-beda di setiap desa yang ada di Distrik atau Kecamatan Manokwari Utara dan Kabupaten Manokwari pada umumnya.

Berdasarkan jawaban responden dari masyarakat ditarik disimpulkan bahwa Alokasi Dana Desa di Kampung Saubeba berperan dalam program pembangunan di tingkat desa terutama pembangunan secara fisik seperti pembangunan rumah warga, kamar mandi umum dan jembatan, sehingga tidak mengherankan kalau pembiayaan program-program pemberdayaan masyarakat sebagian yang ada tidak digunakan secara efektif tetapi banyak terserap untuk pembangunan berupa fisik dan hal ini mengakibatkan pelaksaaan pembangunannya sendiri belum maksimal, karena perolehan ALokasi Dana Desa masih belum mampu mencakup atau membiayai pembangunan yang ada di desa secara keseluruhan.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan         Nomor 205/PMK.07/2019          tentang pengelolaan dana desa disampaikan bahwa penggunaan dana desa adalah untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Lebih jelas lagi penggunaan dana desa diutamakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, peningkatan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan dan dituangkan sejalan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Desa.

Dari pandangan masyarakat pengalokasian dan pemanfaatan dana desa menunjukkan bahwa dalam hal pengalokasian dan pemanfaatan dana sebagian besar pelaksanaannya sudah memenuhi petunjuk yang disarankan. Hanya ada beberapa hal baik dari segi pengalokasian dan pemanfaatan yang belum berjalan cukup maksimal. Pada sisi pengalokasian terdapat dua hal yang perlu   dimaksimalkan mengenai keterlibatan penduduk dalam proses pengalokasian dana dan juga sosialisasi sasaran pemberian dana desa.

Selain itu dari sisi pemanfaatan hal yang perlu menjadi perhatian bagi pemerintah desa adalah dalam hal sosialisasi tentang fungsi dari pemberian dana desa itu sendiri. Jika hal ini sudah teratasi maka pengalokasian dan pemanfaatan dana desa pada Kampung Saubeba menjadi searah setujuan dan sejalan. Kurang maksimalnya hal tersebut sinkron dengan dampak penerimaan dana desa yang berbeda selama tiga tahun terakhir dimana penerimaan terbesar pada tahun 2018 sebelum terjadi penurununan pada tahun 2019 sebesar 14,5 (1,9%). Dengan demikian pelaksanaan pengalokasian dan pemanfaatan dana desa yang sesuai dengan RKPDes dan APBDes maka penerimaan desa kedepannya dapat berjalan lebih stabil.

Tugas dan kewenangan pemerintah desa selanjutnya adalah menerima pengalokasian dana desa untuk penggunaan   dana   desa yang diutamakan untuk membangun desa dan memberdayakan desa dan mengajukan RKPDes juga APBDes lalu mempertanggungjawabkan penggunaan dana desa tersebut dan seterusnya menyerahkan laporan realisasi penggunaan kepada bupati/walikota.

Kesimpulan yang dimuat dari penulisan tentang pengalokasian dan pemanfaatan dana desa disini antara lain masih ada terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan Alokasi Dana Desa (ADD) dalam upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap pembangunan yang ada di Desa atau kampung Saubeba yakni faktor komunikasi dan faktor sumber daya. Pemanfaatan ADD sebagai pengganti pemanfaatan Dana Pembangunan Desa/Kelurahan (DPD/K) yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa di kampung Saubeba dan hal ini tertampak dalam keikut sertaan masyarakat Kampung Saubeba secara aktif dalam perencanaan (Musyawarah Desa) dan pelaksanaan.

Gagasan terkait untuk menjawab tantangan ini adalah pandangan tentang pendampingan berkelanjutan, sebagai cara pandang alternatif yang berarti bahwa jika masyarakat percaya desa dapat berkembang dengan kemampuannya sendiri, maka kemandirian desa akan meningkat dengan baik dan dapat membawa perubahan. Pandangan ini memahami kebangkitan masyarakat desa dengan sendirinya.

Tokoh desa adat dengan pengalaman sejarah dan budaya, termasuk perempuan dan pemuda, merupakan hal yang bisa menjadi aktor penting. Di sana, akan menjadi agen dan akan mampu menemani dan mempengaruhi tatanan sosial komunitasnya masing-masing. Di sinilah pentingnya memupuk dan mengembangkan semangat relawan yang kemudian bisa menjelma menjadi fasilitator dan rekan sejawat bagi warga desa. Berikutnya muncul pertanyaan adalah bagaimana memulai, memungkinkan para agen, sukarelawan, dan fasilitator sejati lahir dan tumbuh secara alami dari komunitas desa ini?, Saatnya mendefinisikan kembali konsep kemandirian, subjek, arah, perspektif dan pendekatan berdasarkan kekuatan lokal yang sebenarnya.

Desa harus lepas dari politik dominasi, hegemoni pasar, dan oligarki di masyarakat lokal agar mampu membaca dan menganalisis permasalahan, kompetensi, dan perubahan arah pembangunan, sehingga terhindar dari jebakan kolonisasi pendampingan dan pendekatan untuk lebih banyak dalam instruksinya sendiri. Praktik ini, dalam rangka pelaksanaan “UU Desa”, memerlukan masa transisi menjadi kekuatan dengan tetap menjaga rangsangan eksternal, bukan menjadi “racun baru”, tetapi harus menjadi ‘’Madu yang Manis”. .Fasilitator adalah badan utama pemberdayaan masyarakat. Namun, pendampingan organik yang sebenarnya melibatkan masyarakat sebagai subjek aktif, mampu memainkan peran yang membebaskan dalam mengenali masalah, kemampuan, dan mengembangkan metode dan strategi untuk mengatasinya.

Desa-desa di Indonesia memiliki kemampuan, karakteristik, dan kondisi ekonomi politik yang berbeda-beda yang menggambarkan fragmentasi dan disparitas satu sama lain disampaikan ada desa yang maju, mandiri, dan kuat dalam proses pembangunan, namun di satu sisi masih banyak desa yang terbelakang dan tidak berdaya akibat pengaruh kebijakan ekonomi struktural politik. Juga karena mereka memiliki akar budaya dalam sejarah kuno, Situasi ini menjadi titik awal untuk mengubah model pendampingan.

Mengetahui semua lini mendorong agar menggunakan pendekatan universal yang sama dalam bantuan pedesaan tidak mungkin lagi tepat dan benar. Namun pendampingan adalah cara pandang yang unik, kontekstual, membumi, dan terintegrasi secara berkelanjutan dengan masyarakat desa. Oleh karena itu, tidak mungkin untuk mengembangkan satu model pendampingan terpusat yang menjawab ide-ide yang relevan untuk tantangan ini dari perspektif pendampingan berkelanjutan.

Undang-Undang Desa bagai pisau bermata dua disatu sisi regulasi dapat memberikan peluang besar bagi warga desa untuk menghadapi permasalahan baik itu masalah lingkungan yang sudah tidak kondusif juga belum terselesaikan secara menyeluruh, namun disisi lainnya kekuatan undang-undang desa yang luar biasa justru bisa menjadi masalah baru jika warga desa tetap tidak memahami sifat hukumnya.

Masih adanya kelompok kepentingan desa yang kuat seperti pemilik atas ulayat tanah dan budaya untuk menempatkan kebutuhan mereka di atas kebutuhan masyarakat desa dapat merampas semangat emansipasi yang diusung oleh undang-undang desa. Persoalan berikut mengenai kepemilikan hak ulayat masyarakat adat yang masih memegang kuat budaya kearifan lokal yaitu tanah adat yang harus ditebus dengan pembayaran uang dengan jumlah nominalnya terbilang cukup besar dan ditentukan oleh pemilik ulayat yang bisa mencapai ratusan juta rupiah untuk ukuran 1 kilometer persegi dan ini tentu menjadi kendala besar dalam hal pembangunan dan pembebasan lahan.

Kendala lain yang tak kalah seriusnya adalah sebagian besar masyarakat di desa tersebut belum begitu memahami isi peraturan tersebut. Berikutnya adlah sosialisai mengenai dokumen perencanaan desa seperti RPJMdes dan RKPdes yang masih minim kepada masyarakat desa dan dan hanya sampai kepada aparatur kampung lalu dilanjutkan ke pemerintah kabupaten. Sosialisasi yang dilakukan pemerintah daerah juga tidak memberikan pemahaman yang utuh. Umumnya masyarakat hanya memungut potongan-potongan informasi yang kurang lengkap.

Dari sisi pengamatan dan pengalaman praktis selama ini, peran pendampingan (termasuk fasilitator) dalam pendampingan agenda pemberdayaan sangat penting. Ada pro dan kontra yang perlu dipelajari dengan cermat. Partisipasi yang mulai dari aktivis LSM, akademisi, pekerja sosial, dan kelompok lain sebelum adanya program dana desa ini, mendorong dan menawarkan perspektif baru, setidaknya ditingkat masyarakat yang bisa menabur benih pemberdayaan sebagai pilar warga yang aktif dan kritis.

Kasus dan agenda lokal lintas sektor diselesaikan berkat fasilitator yang ada ketika menghadapi persoalan yang muncul dari desa dan masyarakat. Namun, karena kenyataan telah berubah dan bersifat dinamis pendampingan tidak mungkin menggunakan cara lama. Perlu model baru untuk menggantikan misi reformasi yang dilandasi semangat hukum desa. Tantangan penting yang perlu ditangani oleh pendamping hukum desa adalah menciptakan badan yang aktif bagi anggota masyarakat.

Itulah kunci untuk menyadarkan orang sebagai subjek aktif artinya pendampingan di masyarakat dipahami sebagai pekerjaan “sementara” sampai subjek pendamping (warga lokal) mampu “dewasa” dan aktif secara mandiri. Ukurannya adalah kemampuan kolektif untuk mengubah kesadaran diri subjek. Perspektif "dewasa dan aktif" tentu saja didasarkan pada versi subjek yang didampingi, bukan keinginan dan kepentingan pemimpin ataupun pendamping itu sendiri. Itulah misi membangun kesadaran yang membebaskan sehingga mengakar di dalamnya da mampu untuk mandiri.

Sebagai paradigma lain, ini berarti bahwa kemandirian desa meningkat jika mereka percaya pada kemampuan yang mereka miliki. Tujuannya agar desa menghasilkan aktor-aktor komunitas yang bisa menjadi agen perubahan: inilah kekuatan sesungguhnya yang membebaskan mesin perubahan. Pandangan ini memahami bahwa masyarakat desa akan bangkit dengan sendirinya. Tokoh masyarakat adat (termasuk perempuan dan pemuda)

Beberapa catatan yang perlu diperhatikan oleh pihak aparatur kampung dan pemerintah kabupaten atau kota agar dapat terciptanya peningkatan sumber daya manusia (Aparatur Kampung) Juga peran pendamping yang bisa lebih efektif dalam melaksanakan amanita dari Undang-Undang desa ini adalah: Meningkatkan penguatan peran dan fasilitasi instansi terkait dengan memberikan saran kepada Badan musyawarah kampung (Bamuskam) dan Pemerintah Desa dalam penyusunan pengelolaan perencanaan dana desa berdasarkan analisis kebutuhan dan potensi desa yang sejalan dan searah seperti: RPJMK, RKP, SK, KAK, SOP , format pengendalian operasi, Nota Kesepahaman, surat menyurat dan lain-lain sesuai kebutuhan. bendahara barang untuk mengelola, menggunakan dan memelihara barang milik desa untuk mendukung pelaksanaan kegiatan pembangunan, pengembangan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan.

Berikutnya Peran bendahara yang memiliki kewenangan yang tidak mudah khususnya dikampung lokal yang ada kepatuhan maupun ketepatan bendaharawan masih belum baik dalam kewajiban perpajakanya dilain pihak pemeriksaan eksternal maupun internal tidak terlalu memahami perhitungan pajak dengan hanya melihat anggaran secara global yang langsung menghitung PPN maupun PPh melalui keberadaan pelaporan pertanggungjawaban dan sering kali mengganggap bahwa untuk urusan pajak tinggal bayar saja tanpa lebih jelih menghitung kebenaran perhitungan yang bisa merugikan dalam kelebihan membayar atau kekurangan pembayaran.

Hal ini perlu menjadi perhatian karena bendahara mesti diberi pelatihan tekhnis terkait dengan wajib pajak terutama dari kantor perpajakan daerah. Perlu cermat memperhatikan perubahan peraturan perpajakan dari waktu ke waktu dan adanya audit eksteral dan internal terkait pertanggungjawaban perpajakan. Salah satu usualan disini agar dapat dirmuskan kewajiban pajak yang sederhana agar mudah dipahami oleh bendahara desa atau kampung.

Perlunya dorongan dan ketegasan dari peran kepala kampung sebagai pengambil keputusan haruslah kuat tanpa harus terpengaruhi oleh kalangan pemilik hak ulayat, lawan politik, oligarkhi juga elit yang ada di desa. Memperkuat peran Ombudsman dalam membantu penyusunan program kerja melalui pendampingan selain pengawasan. Kabupaten atau kota mengirimkan petugas yang bertanggung jawab ke masing-masing desa agar musyawarah lebih efektif dan lebih memahami kearifan lokal.

Pemerintah daerah menunjuk asisten operasional sebagai administrator yang merupakan langkah untuk memperbaiki hal ini. Namun, peran mereka harus ditingkatkan untuk dapat berpartisipasi atau mewarnai pembangunan kebijakan desa. Diperlukan adanya pemeriksaan berjalan Probity Audit dengan melibatkan dan menugaskan Inspektorat kabupaten atau kota agar dapat mengawasi tata kelola Dana Desa yang dimulai dari proses perencanaan sebelum diajukan pada musyawarah rencana pembangunan (musrembang) kampung, penyusunan RKP Kampung, pelaksanaan kegiatan, dan pelaporan program/kegiatan di kampung.

Semua peran yang menyangkut untuk pembangunan desa dari dinas atau lintas sektor pemerintah kampung, pemerintah kota atau kabupaten, pemerhati pembangunan kampung dan masyarakat harus saling bahu membahu meningkatkan kualitas pembangunan di kampung secara menyeluruh. Senyum bahagia masyarakat akan terpancar atas pelayanan negara dan pemerintah untuk mereka tercermin dengan dampak dari efektivitas dan efisiensi dana kampung dikelola dan dimanfaatkan dengan baik. Bukan hanya sekedar bagaimana menghabiskan anggran berjalan yang terserap dan ada ada out put namun harus diperhatikan out comes apa yang sesuai bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pada masing-masing kampung.

Potensi lokal yang belum digarap baik perlu ditingkatkan jika tidak dapat menyebabkan kurangnya pendapatan asli Desa atau kampung. Kesuksesan pemerintah atas pengelolaan dana kampung sebenarnya terletak dari indikator berkembangnya potensi lokal desa yang mampu berkembang secara produktif,dishare dan disimpan guna pemenuhan kebutuhan dan dapat menjadi penghasilan asli kampung selanjutnya menciptakan kampung yang mandiri dan mampu berswasembada.



Penulis: Andarias Kadam

Posting Komentar

0 Komentar