Sebagai
seorang sarjana Sastra Prancis luaran kampus ternama Universitas Hasanuddin,
memilih menjadi Tenaga Pendamping Profesional adalah sebuah jalan sunyi yang
jauh dari hingar-bingar pekerjaan yang oleh orang lain dianggap keren dan
berprestise, misalnya jadi pengusaha atau politisi. Atau melakoni pekerjaan
yang linier dengan keilmuan di kampus misalnya menjadi akademisi atau
penerjemah.
Akan
tetapi dengan menjadi pendamping masyarakat, akan terbentang jalan bagi seorang
TPP untuk mengubah masyarakat desa menjadi lebih berdaya. Menekuri "tugas
negara" ini melalui Kemendes PDTT RI sejak Oktober 2017, penulis
(selanjutnya penulis gunakan kata "saya") masih meraba-raba pada
bulan-bulan awal pasca-Pratugas.
Dilatih
di hotel berbintang yang wah dan adem berpendingin, lalu kemudian tiba di desa
yang penuh deru campur debu, otak dibenuhi bejibun teori, sungguh sebuah
tantangan. Dalam perjalanan enam tahun membersamai masyarakat desa, tentu saya
harus instrospeksi diri, apa yang telah saya lakukan? Apakah citra diri sebagai
seorang pendamping sudah saya jaga dengan baik?
***
Tiba di
Desa saya mendapatkan bagaimana perangkat desa dan BPD bahkan tidak tahu
membuat notula musyawarah dengan benar. Atau melihat bagaimana mereka tidak
memiliki kemampuan wicara publik yang memadai. Bahkan mereka meminta pendamping
desa (nama umum TPP) memandu musyawarah.
Di
sebuah desa saya mengajak anggota BPD berkumpul dan berbagi dengan mereka
tentang cara menyusun notula yang baik. Sering saya dapatkan BPD atau perangkat
desa menolak menjadi notulis musyawarah dengan alasan mereka tidak paham dan
tidak tahu. Selain persoalan notulis, saya mendapatkan perangkat desa dan BPD
yang tidak percaya diri berbicara, memimpin rapat, dan menjadi pembawa acara.
Beberapa
kali saya melatih mereka menjadi pembawa acara agar dapat tampil maksimal dalam
sebuah musyawarah. Persoalan musyawarah di Desa adalah sebuah persoalan besar
jika dilaksanakan sembrono. Kerap kita dapatkan kepala desa memutuskan
pelaksanaan musyawarah desa jam 10 malam dengan jadwal jam 9 besok paginya,
walau musdes adalah ranah BPD. BPD tidak bergerak melakukan musdes bila bukan
atas restu kepala desa, padaham musdes adalah panggung mereka. Mereka dapat
menentukan jadwal sendiri.
Mereka
hanya membuat undangan digital tanpa undangan fisik. Paginya Kepala Desa
menelepon beberapa orang,"Datang ke sini ramaikan musyawarah!".
Bukankah musyawarah yang ideal bahkan harus dijadwalkan sepekan sebelumnya.
Bahkan musdes dijadwal tanpa sepengetahuan BPD. Perlahan-lahan saya memahamkan
mereka bahwa BPD terlebih dahulu harus membuat SK Panitia Pelaksana.
Kemudian
panitia menyiapkan undangan fisik dan undangan digital, berita acara, daftar
hadir, format notula, notulis, penanggung jawab daftar hadir, penanggung jawab
berita acara, pewara, dirijen Indonesia Raya, spanduk, dan dokumen-dokumen yang
diperlukan lainnya dalam bentuk kertas dan digital.
Saya
sangat sering menemukan tidak ada anggota BPD yang bersedia menjadi notulis dan
bahkan tidak tahu menahu cara menyusun notula. Beberapa saya ajak berkumpul dan
saya berikan latihan daljab (IST) tentang cara menyusun notula.
Penulis
menemukan BPD-BPD yang tidak memahami tupoksinya. Mereka tidak paham jikalau
musdes adalah panggung mereka. Undangan musdes malah dibuat oleh Sekdes dan
jadwal ditentukan oleh Kades. Padahal BPD memiliki hak menentukan jadwal musdes
dan BPD-lah yang seharusnya membuat undangan. Di beberapa desa dampingan, saya
berhasil mengubah BPD secara perlahan menjalankan fungsinya.
Saya
buatkan mereka grup percakapan WhatsApp khusus PLD dengan BPD. Saya katakan ke
mereka agar tidak melakukan musdes dengan sembrono. Saya tuliskan semua
kebutuhan musyawarah beberapa hari sebelum musdes.
Pada
awal-awal mendampingi Desa, saya kerap menemukan pada saat hari H, tidak ada
apa-apa yang siap. Bahkan untuk urusan pembawa acara mereka saling tunjuk,
tidak ada yang bersedia. Kerap pendamping desa yang mengambil alih posisi
pembawa acara.
Semua
serba kacau bila musdes tidak direncanakan dengan matang. Termasuk soal peserta
musdes yang tidak memenuhi kriteria musdes yang ideal. Musdes yang sepi adalah
hal yang saya benci. Saya akhirnya sampai harus memantau hingga naskah
undangan, terutama lampiran para terundang.
Saya
katakan ke mereka agar tidak melaksanakan musdes "cokko-cokko"!
Ungkapan dialek Makassar ini kira-kira bermakna "sembunyi-sembunyi"
atau "diam-diam" dalam bahasa Indonesia. Bisa juga bermakna dadakan.
Ada dua hal yang dapat diukur pada sebuah musyawarah, yaitu legalitas dan
legitimasi publik.
Musyarawah
"cokko-cokko" adalah musyawarah yang dilaksanakan terburu-buru, diam-
diam, sembunyi-sembunyi dan mendadak, sehingga hak peserta yang seharusnya
hadir menjadi terabaikan. Atau dalam konteks musyawarah desa, bisa saja sebuah
musyawarah dianggap sah, namun pelaku musyawarah tidak menghadirkan segenap
perwakilan masyarakat desa, legitimisasi publiknya dapat dipertanyakan.
Kerap
kita temukan musyawarah desa yang sepi dan tak melibatkan pihak-pihak yang
seharusnya terlibat, sehingga apa yang dihasilkan menjadi kekurangan legitimasi
oleh publik. Atau dalam konteks musyawarah desa pelaku musyawarah mungkin
merasa terganggu jika para pihak dihadirkan sesuai regulasi, sehingga
menganggap peserta musyawarah yang ramai hanya mengganggu keinginan elite-elite
desa.
Jika
demikian musyawarah desa menjadi eksklusif dan "cokko-cokko". Padahal
desa seharusnya inklusif. Namun hal ini tampaknya bukan persoalan bagi
elite-elite desa, sebab tak ada jua warga desa yang memerotes bila tidak
dilibatkan.
Keberhasilan
saya membuat musyawarah desa menjadi ramai dan ideal tentulah belum dapat
menjadi patokan sebagai sebuah kisah sukses. Kualitas musyawarah desa juga
harus diperhatikan. Bahkan mereka tidak tahu nomor surat terakhir, tidak pernah
membuat undangan musyawarah. Selama ini hanya Sekdes yang membuat undangan
Musdes dan Musrenbangdes dengan kop Pemdes!
Yang
paling prinsipil saja seperti buku tamu dan buku surat masuk dan surat keluar
mereka tak punya. Ada BPD yang menerima gaji buta, tidak pernah muncul di
Kantor Desa. Kini BPD di desa-desa dampingan saya mulai bergeliat. Dalam lima
tahun terakhir rekrutmen BPD mulai transparan dengan banyaknya pemuda dan
sarjana desa yang menjadi anggota BPD dan rerata mereka melek teknologi.
Berbeda
dengan sepuluhan tahun yang lalu saat mana anggota BPD berasal dari kaum tua
dan sepuh yang gagap teknologi. "Jangan saya, Pak! Saya tidak tahu!,"
jawaban seperti ini kerap saya terima ketika mendampingi Desa sejak 2017 ketika
saya meminta seseorang menjadi notulis musyawarah.
Padahal
ada puluhan musrenbang, musdes, rapat, rembuk, dan jenis musyawarah lainnya
yang membutuhkan notulis mumpuni yang dapat menghasilkan notula yang ideal dan
menarasikan jalannya musyawarah dengan bernas. Selain notula, musyawarah di
desa memerlukan berita acara dan presensi sebagai bukti terlaksananya sebuah
musyawarah.
Kalau
pun ada yang melakoni fungsi sebagai notulis, dalam pandangan saya, karya
mereka berupa notula masih perlu diperbaiki. Memang kepercayaan diri harus
ditumbuhkan kepada perangkat desa dan BPD agar mampu menjadi notulis yang
menghasilkan notula yang diharapkan.
Bahkan
kemampuan wicara publik mereka harus diasah saban waktu agar mereka tidak
tergagap-gagap ketika mereka harus menyampaikan sambutan dan laporan, atau
memberikan keterangan pada berbagai forum, atau ditunjuk menjadi pewara.
Kembali
ke perkara notulis. Notulis memiliki peran vital dalam mendokumentasikan setiap
musyawarah, rapat, dan rembuk di desa-desa agar setiap musyawarah memiliki
legitimasi yang kuat. Selain desa harus menghindari musyawarah
sembunyi-sembunyi, dadakan, administrasi musyawarah harus lengkap dan ideal.
Toh pelaksanaan musyawarah harus dibuktikan jika ada auditor yang meminta.
Kini BPD mulai mampu membuat undangan sendiri, memimpin musyawarah sendiri dan saya sebagai PLD tinggal memantau jalannya musyawarah. Walau belum sempurna-sempurna amat. Intervensi saya lakukan terhadap lampiran undangan musdes untuk memenuhi regulasi yang ada dan agar musdes tidak disebut "cokko-cokko". Pada awal-awal saya tiba di Desa sebagai PLD musyawarah desa anteng saja sepi dan tidak memenuhi unsur yang dibutuhkan untuk menghindari sebutan "cokko-cokko".
***
Setelah
membenahi musyawarah desa, pada kesempatan lain saya kerap terlibat dalam upaya
membuat ramai layanan-layanan Posyandu yang "kesepian". Tersebutlah
Serka Charis Trisno, Bintara Pembina Desa (Babinsa) Inrello, Kecamatan Keera,
Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan menyambangi rumah-rumah sasaran Posyandu di
sudut-sudut Dusun Watti, Desa Inrello hari Jumat, 24 Maret 2023 bersama saya.
Melihat
gelagat layanan posyandu "kesepian", saya mengajak BPD dan Pemdes
serta Babinsa untuk melakukan "madduppa posyandu". Kami melakukan
anjangsana ke rumah-rumah ibu-ibu yang memiliki balita namun jarang bahkan
tidak pernah mendatangi layanan Posyandu
Teratai
di Dusun Watti. Padahal telah berdiri di dusun ini sebuah gedung posyandu
berukuran jumbo yang dibangun dengan Dana Desa beberapa tahun yang lalu. Saya
bersama Charis ditemani oleh Bidan Desa Lilis Indasari, A.Md.Keb., Pendamping
Gizi Reski Nurfadilah, Amd.Gz., Kader Pembangunan Manusia (KPM) Haerunnisa,
Kepala Urusan Umum dan Perencanaan Pemdes Inrello Indo Asse, perwakilan BPD
Arba Yamin. Tak ketinggalan para kader Posyandu.
Pos
Pelayanan Terpadu atau Posyandu sendiri adalah sebuah lembaga kategori Lembaga
Kemasyarakatan Desa (LKD) yang kegiatannya dievaluasi setiap tahun dalam
Musyawarah Desa Evaluasi Akhir Tahun Anggaran. Posyandu adalah lembaga khas
Indonesia yang muncul sejak zaman Soeharto dan bertahan hingga kini.
Mereka
dievaluasi bersama-sama dengan LKD lainnya seperti PKK, Karang Taruna, Kader
Teknik, Kader Pembangunan Manusia, Kader Posyandu, dan RT/RW dalam Musyawarah
Desa. Dusun Watti dikenal dengan sekelompok masyarakat yang resisten dengan
layanan Posyandu, bahkan ada yang menolak mendatangi layanan posyandu. Ada
warga yang menolak persalinan di sarana kesehatan!
Kedatangan
Babinsa, Bidan Desa, saya sebagai PLD, KPM, Kaur Umum, Pendamping Gizi, dan
Kader Posyandu Desa Inrello ini merupakan tindak lanjut Rapat Koordinasi Tim
Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Desa Inrello pekan lalu.
Kini isu
tengkes (stunting) atau pelambatan pertumbuhan pada anak dalam kaitannya dengan
gizi menjadi isu nasional. Program Konvergensi Pencegahan Stunting telah lama
bergulir dengan melibatkan semua lini dan sektor.
Pada
Pemutakhiran Data Indeks Desa Membangun 2023, Rumah Desa Sehat (RDS) berada
sebaris dengan TPPS atau Tim Percepatan Penurunan Stunting, maknanya bahwa RDS
serupa dengan TPPS. KPM adalah Koordinator RDS dengan Pendamping Posyandu
sebagai Sekretaris, dan Unsur Kader Posyandu sebagai Bendahara. Para anggota
RDS adalah Kader Posyandu, Kader KB, Guru PAUD, Bidan Desa, PKB, PPL Pertanian,
PKK, kader kesehatan lainnya, dan Karang Taruna.
Para
kader dan nakes yang bertugas di Posyandu Teratai Watti kerap mengeluh dengan
sepinya sasaran posyandu (balita, ibu hamil, dan lansia) yang datang, terutama
balita. Kementerian Desa PDTT RI sendiri telah menugas seorang Kader
Pembangunan Manusia tiap desa dengan peran mengajak partisipasi masyarakat dan
lembaga dalam proses perencanaan, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan. KPM juga
berkoordinasi dengan pelaku program dan lembaga lainnya seperti bidan desa,
petugas puskesmas lainnya (ahli gizi, sanitarian), guru PAUD dan aparat atau
lembaga desa.
KPM
mendapatkan honor dari Pemdes bersumber dari Dana Desa. KPM Inrello Haerunnisa
terus menyemangati para kader posyandu Desa Inrello di tengah isu tipisnya
honor kader posyandu yang tidak naik-naik dalam beberapa tahun belakangan yang
berbasis regulasi.
Kami
memberikan literasi kesehatan kepada warga dan menemui kepala keluarga langsung
agar dapat memberikan izin kepada istrinya dapat membawa balitanya ke Posyandu.
Mereka juga menjelaskan betapa pentingnya mendatangi layanan posyandu bagi ibu
hamil, baduta dan balita, dan pentingnya persalinan di sarana kesehatan.
Posyandu
Teratai di Watti pun kini tampak ramai, tidak seperti bulan-bulan sebelumnya.
Muncul wacana dari kader posyandu agar Pemdes Inrello mengedarkan surat
pemberitahuan jadwal layanan posyandu sehari sebelum hari H Posyandu.
Demikianlah,
membersamai masyarakat desa laksana memilih jalan sunyi, butuh mental yang kuat
agar mereka bisa lebih berdaya. Desa kerap dilabeli kampungan dan terbelakang
sebagai lawan dari Kota yang ramai dan hingar-bingar. Desa itu sepi dan sunyi.
Penulis: Abdul Wahab Dai (PLD Kecamatan Keera Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan)
0 Komentar