Siang
itu penghujung Agustus cuaca Gampong Alue Keurinyai masih terasa menyengat
membakar kulit, disepanjang jalan Tani yang saya lewati juga tampak gersang
tidak banyak pohon ditemukan sepanjang jalan menuju lahan melon. Sesekali saya
menemukan pohon itupun bukan pepohonan yang tumbuh dipinggir jalan namun
pohon-pohon itu seperti tersembul dari kebun-kebun warga disepanjang jalan yang
saya lintasi menuju lahan melon terlihat juga tali temali listrik menjuntai
bisa di sentuh oleh siapa saja yang melintas, tidak ada tiang beton atau besi
tempat menyangkut temali listrik PLN tersebut.
Setelah
lima menit saya menempuh perjalanan tibalah saya dilahan melon milik 21 warga
yang secara berkelompok menggarap areal persawahan kritis Gampong setempat
menjadi lahan tanam melon. Di sana sudah menunggu Pak Geuchik setempat namanya
Rasyidin, perwakannya kecil tidak tua, paruh baya dalam kecil tubunya ternyata
geuchik Rasyidin terlihat gesit dan cekatan, tubuh kecilnya dan pendek itu
ternyata memiliki ide yang besar untuk menyejahterakan warganya 585 jiwa dan
180 kepala keluarga.
“Umumnya
berprofesi sebagai Petani sawah beberapa diantaranya berkebun, berdagang dan
hanya segelintir saja jadi pegawai baik swasta maupun Aparatur Sipil Negara.
Kebanyakan Pemuda kami pengangguran, tidak sedikit yang sudah meninggalkan
gampong mencoba peruntungan di kota, atau bahkan hingga merantau jauh ke negeri
jiran, diantara mereka ada yang pulang dengan keberhasilan ada juga yang tidak.
Saya selaku Geuchik pemimpin Gampong dengan beberapa warga akhirnya mencari
solusi untuk kemakmuran warga dengan cara menanam melon sebagai peningkatan
ketahanan pangan sekaligus penambah penghasilan keluarga.”
Di siang
yang terik itu saya disambut oleh Geuchik Rasyidin pada sebuah dangau ditengah
sawah yang sudah disulap menjadi lahan tanaman melon, dangau itu hanya
beratapkan terpal lusuh tampak dibeberapa sudut sudah bocor dan rusak bila
hujan turun pasti akan kebasahan, dangau ini tidak seperti dangau pada umumnya
di areal persawahan biasanya memiliki tiang-tiang penyangga diempat sudutnya
sehingga terlihat berdiri kokoh dengan atap rumbia atau seng, tidak demikian
dengan dangau di lahan melon ini langsung beralaskan tanah, diatas tanah
tersebut digelar karpet bekas yang juga sudah robek disana-sini namun karena
sudah dilipat dan saling berlapis sehingga sudah saling menutupi bolong, saya
pastikan bila saja hujan turun pasti lantainya akan basah, untungnya cuaca
akhir-akhir ini kering kerontang, maka nyaman lah kami duduk dan mengobrol di
dalamnya, sambil sesekali makan sajian melon dari lahan setempat.
Geuchik
Rasyidin memberitahukan kepada saya bahwa ada 75 H areal persawahan di Alue
Keurinyai umunya tadah hujan atau lahan kritis, tidak ada irigasi dan waduk
penyimpan air, persawahan kami semata-mata berharap hanya pada hujan turun,
kemudian baru bisa menggarap, hal serupa juga terjadi di Gampong lainnya di
kecamatan Banda Baro, umumnya lahan di sini tadah hujan. Dari 75 H lahan sawah
Alue Keurinyai 17 H di diantaranya kami peruntukkan untuk lahan penanaman
melon, 4 hektar sudah mulai ditanami dan Alhamdulillah sudah mulai
menghasilkan, dalam setahun melon ini bisa empat kali panen.
Untuk
menanam melon kami juga membutuhkan air. Namun air yang kami butuhkan tidak
sebanyak untuk menanam padi sehingga melalui Dana Desa kami sudah berhasil
membuat sumur bor sebanyak tiga unit di tiga titik, semula sumur bor ini
diperuntukkan untuk tanaman padi namun karena tanggung dan tidak bisa mengairi
semua lahan persawahan sehingga kami meyulap lahan kritis ini menjadi lahan
tanaman melon, melon tidak membutuhkan air sebanyak yang dibutuhkan untuk
menanam padi, sehingga melon menjadi solusi dan sekarang sudah menjadi
primadona di Banda Baro.
Untuk
bisa menanam seluas 17 hektar lahan yang sudah diperuntukkan untuk melon kami
masih membutuhkan 10 unit sumur lagi dengan rincian satu unit sumur bor bisa
menkover satu koma tiga hektar lahan, sementara sekarang kami baru bisa
memanfaatkan empat hektar dari keseluruhan lahan menyesuaikan dengan
ketersedian air yang ada disini dimana hanya bergantung pada tiga unit sumur
bor tadi. Kami telah berencana melalui Dana Desa alokasi 2024 ke depan akan
membuat sumur bor tambahan di dua titik yang berbeda, ya memang belum terasa
cukup namun karena terbatasnya dana dan banyak prioritas sehingga harus
pelan-pelan dan bertahap.
Di bawah
kelompok BEUSARENA kami telah berhasil mengolah lah empat hektar lahan oleh dua
puluh satu anggota. Untuk menanam satu rante saja kami membutuhkan modal dua
juta rupiah, harga ini sudah termasuk bibit, pupuk, obat-obatan dan perawatan
lainnya. Dalam satu rante kami bisa menanam lima ratus batang melon dengan
hasil setiap batang rata-rata dua koma lima kilogram buah dengan harga jual
tujuh ribu rupiah perkilonya, dalam satu rante tanam kami bisa menghasilkan
delapan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah setiap panennya, setahun kami
bisa panen empat kali bila ditotal kami bisa menghasilkan satu rante melon
dalam setahun tiga puluh lima juta rupiah, ini akan jauh lebih produktif dan
menghasilkan dibanding menanam padi.
Memang jumlah modalnya jauh lebih besar dari
menanam padi dikarenakan menanam melon budget paling besar adalah dipemupukan
dikarenakan kami masih menggunakan pupuk kimia dengan harga beli dua puluh lima
ribu rupiah per kilogramnya, seorang Tenaga Ahli kabupaten yang bernama Nizam
juga memiliki pengalaman menanam melon sebelumnya telah mengusulkan ke kami
untuk merubah pemupukan dari pupuk kimia ke pupuk organik, dan beliau mau
menjadi instruktur bagaimana membuat pupuk organik, tentu saja tawaran ini kami
sambut dengan duka cita dan kami rencanakan pelatihannya dalam tahun 2024
mendatang di atas lahan melon ini bersama dua puluh satu anggota kelompok
melon.
Geuchik
Rasyidin juga memberitahukan kepada saya, setiap kali panen melon para Touke
langsung datang beli dan panen di lahan dan selalu dilakukan pada malam hari,
hasil melon kami umumnya didistribusikan ke luar Aceh seperti Medan, Batam, dan
ada juga diekspor ke Singapore melalui jalur laut Batam-Singapore, demikian
menurut Touke yang beli hasil panen melon memberitahukan ke kami, dikarenakan
untuk eskspor dan guna dipasarkan ke luar Aceh ke Mart, Swalayan, Supermarket,
maka Touke hanya mengambil yang standar bagus menurut Touke, sisanya kami jual
di pasar lokal.
Bahkan
ada juga penduduk sekitar dan warga kami beli di sini dengan harga diskon
khusus warga, bila dilihat dari pembukuan keuangan dalam tahun ini dari empat
kali tanam dan panen melon sudah ada pendapatan lebih dari 1,4 Milyar Rupiah
masuk ke Alue Keurinyai, sebuah angka yang sangat membahagiakan kami dalam
memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari kami dalam menggapai swasembada pangan
dan ketahanan pangan yang berujung pada ketahanan ekonomi keluarga kami.
Selain
empat hektar yang sudah kami tanami melon sekitar dua hektar lagi juga telah
dimanfaatkan untuk menanam cabai, kacang, mentimun dan semangka. Keberhasilan
Gampong kami Alue Keurinyai dalam budi daya melon telah menggugah beberapa
istansi atau dinas pertanian datang ke Gampong kami melihat lahan kami, setelah
berkunjung dan memastikan keberadaan melon disini, umumnya mereka menawarkan
bibit palawija lainnya selain melon yang sudah sukses kami budidayakan di sini,
mereka memberikan bibit bawang merah dan kenaf. Terkhusus kenaf ini sudah ada 5
hektar lahan yang sudah kami tanami, kenaf ini nantinya akan digunakan sebagai
pakan ternak digampong kami juga di jual ke luar Gampong.
Alhamdulillah
usaha kami penduduk desa akhirnya membuahkan hasil, bukan tidak pernah gagal,
bahkan banyak gagal, namun kami menjadikan kegagalan itu sebagai pemicu
semangat kami untuk berhasil diwaktu setelah gagal, kami sangat berterimakasih
sekali bahwa kebijakan pemerintah dalam bidang ketahanan pangan telah
mengantarkan Gampong kami dalam megolah lahan kritis ini yang sebelumnya hanya
bisa tanam padi setahun sekali, sekarang berkat Dana Desa kami bisa memnggali
sumur bor untuk kebutuhan air lahan kami juga bisa menggunakan dana desa untuk
pembelian bibit awal. Semua keberhasilan ini tentunya karena dukungan
pemerintah dan warga kami dalam menjaga semangat ingin maju dan mandiri serta
terlepas dari jerat kemiskinan.
Penulis: Deddi Iswanto (Pendamping Lokal Desa Banda Baro)
0 Komentar