Setetes Cerita di Desa: Mampir Ngopi di Rumah Boni



Sore itu, selepas dari Kantor Desa, Boni Gejur (34) mengajak saya mampir minum kopi di rumahnya di Dusun Malip, Desa Lenda, Kecamatan Cibal Barat, Kabupaten Manggarai. Saya menerima ajakannya dan ia pun membonceng sepeda motor yang saya kendarai.

Dalam perjalanan sekitar dua kilometer dari Kantor Desa menuju ke rumahnya kami bercakap-cakap. Kepala Dusun Malip itu mengaku kalau sepeda motornya sudah hampir dua bulan berada di Kantor Pegadaian Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai.

“Saya gadai pak, untuk tutupi kebutuhan bulanan keluarga. Soalnya, kami sudah hampir lima bulan, belum gajian. Terima terakhir bulan April lalu. Katanya Dinas PMD dan Badan Keuangan, tunggu Oktober lagi karena ada penambahan pagu ADD. Susah ew pak,” ujarnya.

Lalu, ia pun menyinggung soal revisi Undang-Undang Desa No.6/2014 dan rencana Pemerintah menaikkan Dana Desa menjadi dua miliar Rupiah. Sebagai perangkat desa, ia sangat mendukung dua kebijakan tersebut. Terselip harapannya, bahwa revisi UU Desa juga mencakup soal penghasilan tetap bulanan dari kades dan perangkat desa.

“Benar om Boni, revisi UU Desa masuk prolegnas tahun ini. Dan proses revisi itu, kini sedang dalam proses pembahasan di DPR. Kalau mengikuti penjelasan anggota DPR Pusat, nilai dua miliar itu adalah gabungan dari Dana Desa dan Alokasi Dana Desa. Jadi, kemungkinan besar nanti tidak ada lagi ADD, karena sudah satu paket dengan Dana Desa yang jumlahnya sampai dua miliar itu,” ujar saya menimpali.

Selama ini tutur Boni, penyaluran Dana Desa tampak cepat dibandingkan ADD. Hal ini antara lain mempengaruhi jadwal waktu pelaksanaan tiap tahapan kegiatan pembangunan di desa. Demikian pun laporan pertanggung jawaban hasil dari kegiatan itu, tidak bisa dikerjakan bersamaan atau sekaligus.

Diungkapkannya, di satu sisi Pemerintah Desa dituntut menunaikan kewajiban kerja harus tepat waktu, efektif, efisien dan sebagainya sesuai ketentuan perundang-undangan. Sedangkan di sisi lain, pemenuhan hak atas hasil kerja itu sering kali terlambat berbulan-bulan. Memang selain itu, hal yang tak kalah penting dan jadi penentu dalam dinamika manajemen pemerintahan desa ialah faktor kepemimpinan.

Kami hanya berjarak seratus meter dari rumah Boni, ketika ia meminta saya berhenti sebentar untuk membeli rokok dan telur di Kios Mama Minjo. Kios itu berada semeter lebih di pinggir kanan badan jalan. “Sepuluh ribu rokok arrow, sepuluh ribu telur,” pinta Boni sambil menyerahkan selembar uang Dua Puluh Ribu Rupiah kepada penjaga kios.

Terdengar percakapan dari kios, “Om Boni, Tanta Geno masih sakit? Ini kue pao titipannya sudah habis kemarin,” suara Mama Minjo. “Masih mama, nanti kalau sudah sembuh baru buat lagi,” jawab Boni. “Owh, baik sudah om, salam untuk tanta Geno,” ujar pemilik kios tersebut usai mengantongi 4 butir telur dan 10 batang rokok arrow dan menyerahkannya kepada Boni.   “Iyo, mama, jalan dulu,” pamit Boni.

Lewat dari kios itu, Boni menuturkan bahwa istrinya, Geno Mamus (29), sudah tiga hari sakit batuk pilek. Dalam kondisi seperti ini, Geno hanya bisa berbaring di tempat tidur. Dengan demikian, sebagai suami, ia jadinya dapat tambahan tugas ekstra. Urus dapur dan urus dua anak mereka, Mita (7) dan Nino (4).

Menurut Boni, sikap dan tingkah Geno terlihat agak berbeda. Biasanya walau kena batuk pilek, istrinya tersebut tetap beraktivitas seperti biasa. Kali ini bawaannya hanya di kamar dan baru keluar kamar saat mau buang air. Dengan sediki mengangguk, saya hanya bisa menyahut, “Owh...”

Penanda waktu di ponsel saya menunjukkan jam 15.35 WITA saat kami tiba di rumah Boni. Setelah memarkir motor dan masuk rumah, ia mempersilahkan saya duduk dan menunggu sejenak. Sebelum ia berlalu menuju dapur, saya menanyakan Mita dan Nino. “Biasa jam begini, mereka pergi bermain di halaman kampung, sekitar jam lima-an baru pulang rumah,” jawab Boni.

Tak lama berselang, Boni muncul dari dapur membawa kopi. “Maaf pak, kita minum kopi saja,” kata Boni seraya menyuguhkan dua gelas kopi di meja dari nampan yang dipegangnya. Setelah kopi disuguhkan, ia duduk kembali sambil meletakkan nampan di sekitar tempat dia duduk. Selain kopi, ia juga menawarkan rokok yang dibelinya di kios tadi. “Oke om Boni, pas rokok saya tadi sudah habis...”, kata saya sambil mengambil sebatang.

Ia mengaku bahwa sejak tahun lalu ia berkomitmen mengurangi jatah rokok hariannya demi membeli telur bagi kedua anaknya. “Pagi dan sore pak, satu untuk Mita dan satu untuk Nino. Kalau susu, Mita sudah tidak lagi sejak usianya 5 tahun. Sedangkan Nino, tetap kami siapkan susu formula semenjak berhenti ASI dua tahun lalu. Ini bagian dari peran ayah mencegah stunting, pungkasnya.

Sembari merokok dan menikmati kopi buatan Boni, kami mengobrol santai berbagai hal khususnya soal pembangunan dan kepemimpinan di wilayah setempat. Bahwa sampai dengan bulan September 2023 ini, Pemdes Lenda telah sedang melaksanakan sejumlah kegiatan sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam APBDes.

Berdasarkan dokumen penjabaran APBDes Tahun Anggaran 2023, diketahui bahwa sebagian besar anggaran dimanfaatkan untuk pelaksanaan pembelanjaan kegiatan Non-Sarpras. Kegiatan dimaksud antara lain berupa: Bantuan Langsung Tunai (BLT), bantuan beras untuk penguatan ketahanan pangan, bantuan Program Makanan Tambahan (PMT) untuk ibu dan anak Posyandu, dan sejumlah kegiatan peningkatan kapasitas di Desa. Sedangkan, untuk kegiatan Sarpras (Non-PKTD), Pemdes hanya menetapkan satu kegiatan yakni, bantuan material (stimulan) dalam Program Pembangunan/ Rehab RTLH kepada keluarga miskin.

“Bukannya mau gosip atau apa, sejak dipimpin pak Markus selaku Penjabat Sementara Kepala Desa, pembagian tupoksi kami sebagai perangkat desa jadi jelas. Setidaknya pengorganisasian birokrasi pemerintahan desa sedang diupayakan sesuai dengan regulasi perundang-undangan,” tutur Boni.

Ia mengisahkan, pada masa kepemimpinan sebelumnya atau kades terpilih periode 2017-2022, keberadaan perangkat desa hanya sekadar nama pengisi bagan organisasi pemerintah desa. Tugas- tugas dalam tahapan dan tindakan pembangunan tahunan desa, jelas Boni, hampir semuanya dimonopoli oleh kepala desa.

Menanggapi hal tersebut, saya pun coba memastikan apakah semasa itu, musyawarah baik murenbangdes maupun musdes diadakan dalam tiap tahun anggaran. Lalu bagaimana fungsi dan peran pengawasan BPD terhadap kinerja Kepala Desa.

“Semua jenis musyawarah baik tingkat dusun maupun tingkat desa memang dilaksanakan. Namun dokumen tertulis tentang tahapan pembangunan selama masa kepemimpinan sebelumnya itu, tidak kami ketahui dan juga tidak tersedia arsipnya di Kantor Desa. Sehingga kalau ada yang minta dokumen-dokumen itu, kami arahkan saja ke operator desa, karena dia yang tau dan urus dokumen itu,” ungkapnya.

Apa yang disampaikan Boni itu memang benar adanya. Awal bertugas sebagai PLD pada Desember 2022 lalu, saya menemukan fakta bahwa dokumen desa berupa RPJMDes, RKPDes, APBDes dan dokumen-dokumen tahapan pembangunan desa lainnya tidak tercetak dan terasip di Kantor Desa.

“Ada pak, file-nya ada tapi masih di laptop, belum di-print, tunggu pak. Nanti akan segera saya print dan jilid” jawab Sius selaku operator desa, ketika ditanya keberadaan dokumen-dokumen pembangunan desa tersebut. Dan sampai dengan berakhirnya masa jabatan kades, hardcopy atau arsip fisik dari dokumen-dokumen itu masih juga belum tersedia di Kantor Desa.

Hal ini tentunya dapat dimaklumi sekaligus disayangkan. Dimaklumi karena kades adalah Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Desa sesuai Permendagri No.20/ 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Pasal 3 Ayat 1 s.d. 4.

“Secara de jure, hitam di atas putih, ketentuan itu diikuti. Tetapi yang disayangkan, secara de facto, di lapangan tidak demikian. Kades tidak menguasakan sebagian kekuasaan pengelolaan keuangan kepada perangkat desa selaku Pelaksana Pengelolaan Keuangan Desa atau PPKD,” ujar Boni.

Seharusnya, sebagian kuasa pengelolaan dan tanggung jawab administratif atasnya, dipercayakan kepada tiap perangkat desa dan Tim Pelaksana Kegiatan (TPK), sesuai bidang kerja masing-masing. Namun, dalam realitas pelaksanaannya, dikebut sendiri oleh kades dan terutama operator desa.

“Habis tanda tangan dokumen pencairan di bank, uang desa yang diserahkan teller itu langsung dipegang sendiri oleh kades. Saya sebagai Kaur Keuangan atau bendahara desa tidak pegang uang. Jadi kalau perlu uang, contohnya untuk beli ATK, minta langsung ke kades karena dia yang pegang uang,” tutur Bendahara Desa, Nikus pada suatu waktu di Kantor Desa.

Sementara itu, mengenai BPD, Boni menilai, peran pengawasan Badan Permusyawatan Desa terhadap kinerja Kepala Desa selama enam tahun kepemimpinannya, tampak kurang menonjol. Ia menduga, hal tersebut disebabkan kuatnya dominasi Kades atas BPD jika dipantau dari aspek hubungan kemitraan.

Mengenai pola relasi antara BPD dan Kepala Desa, saya jadi teringat sebuah hasil studi dari Sutoro Eko dkk pada 2014 silam. Dalam studi itu, antara lain dipaparkan, bahwa secara empirik terdapat empat pola hubungan antara BPD dan Kepala Desa.

Pertama, Dominatif. Pola ini berlangsung saat Kepala Desa sangat dominan dalam menentukan kebijakan desa. Dominasi tersebut kian menguat tatkala BPD tidak paham tugas dan perannya. BPD hanya bersikap pasif dan tak berdaya di hadapan kades. Ketak-berdayaan ini mendisfungsikan pengawasan BPD atas kinerja kades.

Kedua, Kolutif. Relasi Kepala Desa dan BPD harmonis karena keduanya telah bersepakat untuk berkolusi dan melakukan tindakan korupsi. Keberadaan BPD pun hanya sekadar alat legitimasi kebijakan desa. Meski bertolak belakang dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat desa setempat, kebijakan itu tetap dilaksanakan.

Ketiga, Konfliktual. Adanya ego dan sentimen pribadi di antaranya menjadi pemicu ketidak- cocokan antara BPD dan Kepala Desa. Sering kali ego dan sentimen itu terbentuk saat Pilkades. Beda dukungan dan pilihan politik. Lalu sayangnya adalah, hal ini biasanya sampai terbawa saat keduanya harus menyepakati bersama suatu kebijakan dalam Musyawarah Desa. Karena sama-sama bersikukuh pada ego masing-masing, maka keputusan atau kebijakan pembangunan yang dihasilkan lebih cenderung kontraproduktif.

Keempat, Kemitraan. BPD dan Kepala Desa membangun hubungan kemitraan. “Kalau benar didukung, kalau salah diingatkan”, Inilah prinsip kemitraan sekaligus check and balances. Di antara keduanya tercipta sikap saling mengerti dan menghormati tugas, fungsi dan peran masing-masing. Dalam kondisi hubungan seperti ini akan menciptakan kebijakan desa yang demokratis dan berpihak warga.

Dalam hal ini, lanjut hasil studi itu, pola kemitraan dimaksud harus berlangsung secara normatif dan terbuka sehingga menjadi format terbaik hubungan antara kepala desa dan BPD. Pola kemitraan memungkinkan kades-BPD terus-menerus melakukan deliberasi untuk mengambil keputusan kolektif sekaligus sebagai cara untuk membangun kebaikan bersama.

Kini situasinya berbeda. Memimpin sejak Januari 2023, Pjs Kades, Markus Mantul, telah mengondisikan suatu iklim kerja di mana Boni dan kawan-kawan dapat sungguh-sungguh mengaktualisasikan tugas dan perannya sebagai perangkat desa.

Hubungan kemitraan dengan BPD terpilih periode (2023-2028) juga berjalan baik. Tiap kesepakatan dan keputusan diambil lewat musyawarah yang komunikatif dan diskursif dengan mengedepankan aspirasi dan prioritas kebutuhan pembangunan seluruh warga desa.

“Kami banyak belajar soal mengelola pemerintahan desa dari Pak Markus yang sudah berpengalaman puluhan tahun sebagai Sekretaris Desa Latung. Dan Entahlah, siapapun nanti yang terpilih sebagai kepala desa definitif, setidaknya saat ini, pengetahuan dan pemahaman terkait tugas, fungsi dan peran kami sebagai perangkat telah disegarkan kembali ” ungkap Boni yang telah hampir 4 tahun menjabat sebagai kepala dusun.

Saya pun mengamini apa yang disampaikannya itu. “Betul om Boni. Ke depan kita perlu cermat dan cerdas memilih pemimpin. Contohnya pilih kades. Mungkin calon kades yang akan kita pilih nanti, tidak atau belum paham soal mengelola pemerintahan desa. Tapi, paling kurang kita tahu rekam jejaknya sehari-hari dalam dinamika hidup di desa, Bahwa dia orangnya berintergritas, inklusif dan demokratis. Sehingga ketika terpilih, ia mampu jadi pemimpin yang amanah, adaptif dan profesional.

Sementara itu, ketika sedang asyik tukar pikiran, terdengar bunyi berderit, pintu kamar dibuka. Sesosok yang diceritakan sebelumnya muncul. Geno, istri Boni datang menyapa kami di ruang tamu. “Halo, sore pa Tom, bapa nona, maaf kurang enak badan jadi setelah makan siang tadi langsung istirahat...”, ujar Geno seraya perlahan menempati di kursi kosong samping suaminya.

“Eh, tidak apa-apa tanta Geno..tadi om Boni cerita kalau tanta lagi batuk pilek,” tanggap saya. “Bagaimana sudah perkembangannya ma, masih berat?,” tanya Boni prihatin. “Sudah agak ringan pa, setelah minum vitamin dari Poskesdes tadi...” jawab Geno. “Hae, tadi mama ke Poskesdes? Terus mereka tidak kasih obat batuk pilek kah?” selidik Boni. “Tadi mama Marta ke sini datang jenguk, sekalian ajak saya ke Poskesdes, katanya, ada kunjungan dokter dari Puskesmas di Poskesdes. Terus setelah titipkan Nino di rumah opa-nya, kami berangkat ke sana,” kata Geno.

Ia pun menjelaskan alasan mengapa dokter hanya memberikan vitamin kepadanya. “Setelah pemeriksaan, dokter bilang bahwa saya hamil satu bulan, jadi dokter beri vitamin saja pa...” tuturnya dengan mata lembab berbinar. Mendengar penjelasan itu, saya menangkap perasaan terkejut bercampur bahagia terpancar di wajah Boni.

“Oe, selamat Om Boni, Tanta Geno,” ungkap saya spontan sambil menyalami keduanya. Boni menghela nafas panjang, matanya juga tampak lembab. Tak lama lagi keluarga mereka bertambah seorang anggota baru. Diperkirakan lahir Mei 2024 mendatang. Usai Pilpres putaran kedua... di mana UU Desa yang baru juga sudah berlaku, bersama harapan SILTAP diterima tepat waktu. Wallahualam.



Penulis: Thomas Tommy Sorat

Posting Komentar

0 Komentar