Pagi ini saya dan Mbak Admin jalan-jalan sehat di kota suci Vatikan. Ini bukan jalan pagi biasa. Ini adalah “jalan pagi keramat”. Di belakang saya dalam adalah basilika Santo Petrus yang dibangun sejak 1506 (setahun setelah wafatnya Imam al-Suyuti, pengarang tafsir Jalalain yang amat populer di pesantren) dan membutuhkan satu abad lebih untuk menyelesaikannya. Di basilika inilah terdapat makam Santo Petrus, salah satu dari 12 murid Yesus yang pertama. Bersama Rasul Paulus, Santo Petrus adalah tokoh utama dalam sejarah Kristen awal. Ketika jalan pagi menginjakkan kaki di lapangan Santo Petrus yang terletak di depan basilika ini, saya merasakan aura sakral yang menggetarkan.
Sejak lama, saya bersama Mbak Admin Ienas Tsuroiya memang merutinkan jalan pagi setiap hari, paling tidak 5 km. Inilah cara murah untuk sehat. Kalau kantong tidak tebal, ya minimal ndak sakitlah. Sudah kantong tipis, sakit-sakitan, kan repot. Baik di rumah atau sedang di perjalanan, kami selalu berusaha mencuri waktu untuk JJS (jalan-jalan sehat), termasuk saat perjalanan kami ke Eropa kali ini.
Demikianlah hari pertama di Roma (6/5) kami mulai dengan JJS di Vatikan dan sekitarnya. Saya sengaja mencari penginapan (bukan hotel, tapi guest house yang lumayan murah untuk standar Roma) di dekat Vatikan, sehingga bisa dengan mudah mengunjungi tempat suci itu. Namanya Vatican Dream Guest House di via Gregorio VII. Untuk menuju Vatikan hanya butuh jalan kaki 26 menit.
Pagi itu kami hanya jalan-jalan saja di Lapangan Santro Petrus yang begitu luas dan berada di depan basilika Santo Petrus. Saya belum berkesempatan masuk ke dalam basilika. Saya baru bisa masuk dan menikmati sudut-sudut di dalam basilika Santo Petrus kemaren sore. Ini, bagi saya, adalah pengalaman yang begitu “wow” dan menakjubkan.
Sejak lama sekali saya ingin berkunjung ke Vatikan, terutama ke basilika Santo Petrus yang terkenal itu. Baru kemaren sore (8/5) saya bisa mewujudkan mimpi lama itu. Rasanya “plong” luar biasa. Ini semua berkat kebaikan Romo Markus Allein, sekretaris Kardinal Miguel Angel Ayuso Guixot yang mengetuai Pontical Council for Interreligious Dialogue (lembaga kepausan yang mengurus dialog antaragama). Saya bertemu Romo Markus pertama kali di Yogyakarta saat ia mendampingi Kardinal Ayuso menghadiri acara penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa kepada Gus Yahya (Ketua Umum PBNU) di UIN Yogya pada Februari 2023.
Selain dengan Romo Markus, saya juga janjian dengan Dubes Indonesia untuk Tahta Suci Vatikan, Mas Trias Kuncahyono. Dia, dulu, pernah menjabat Pemred Kompas. Romo Markus mengusulkan Patung Pengungsi berwarna hitam di pintu masuk Lapangan Santo Petrus sebagai tempat bertemu. Saya setuju saja. Tamu, menurut tradisi pesantren, seperti “mayyit” atau orang mati: ikut saja apa yang dikehendaki tuan rumah.
Beberapa saat setelah kami sampai di patung itu, saya melihat Mas Trias jalan santai bersama ajudannya. Saya langsung teriak: Mas Trias! Kami ngobrol beberapa saat. Dia, sebagai seorang Katolik, tentu tahu banyak soal sejarah Vatikan. Saya “nyerocos” tanya ini-itu seperti anak TK. Tak lama, Romo Markus muncul. Romo asal NTT ini berperawakan tinggi, ganteng, memiliki suara yang karismatik, dan cerdas.
Sama dengan Kardina Ayuso, Romo Markus pernah studi Islam di PISAI (Pontifical Institute of Arab and Islamic Studies) dan belajar Bahasa Arab di Kairo. Selain berbahasa Arab, dia bisa bahasa Itali dengan fasih, selain bahasa Latin. Kemampuan Romo-romo Katolik, terutama kaum Jesuit, selalu mengesankan saya sejak dulu, terutama dalam penguasaan bahasa. Sebetulnya mirip dengan kalangan pesantren yang amat detil mempelajari bahasa asing, yaitu Arab. Agama-agama berbasis Kitab Suci seperti Yahudi, Kristen, dan Islam memang punya perhatian yang tinggi pada bahasa, terutama bahasa yang dipakai dalam kajian Kitab Suci: Ibrani, Latin, Yunani, Arab.
Setelah basa-basi sebentar, mulailah “perjalanan spiritual” kami bersama Romo Markus dan Pak Dubes mengelilingi sudut-sudut Vatikan, basilika, museum Vatikan, dan Kapel Sistina yang masyhur itu. Tak menyangka saya bisa berkeliling di basilika ini dengan pemandu seorang romo yang ahli Islam dan didampingi Pak Dubes. Semua ini tidak saya rencanakan dari awal. Sebab tujuan awal saya ke Itali, jujur saja, sebetulnya untuk “nonton” turnamen tenis Italia Open di Roma. Saya mengontak Romo Markus dan Pak Dubes juga menit-menit terakhir. Katanya, ini “mestakung”, semesta yang mendukung.
Pertama-tama, Romo menerangkan tentang dua hal: tentang Patung Pengungsi yang ada pelataran Santo Petrus itu, dan sejarah pembangunan basilika Santo Petrus. Patung Pengungsi itu digagas oleh Paus Fransiskus (paus sekarang) sebagai simpati untuk para pengungsi. Paus mendorong pemerintah-pemerintah Eropa untuk menerima para pengungsi yang malarikan diri dari negeri masing-masing, entah karena perang, kekacauan di negeri masing-masing, atau bencana alam, dan mencari kehidupan yang lebih baik di daratan Eropa.
Patung itu dibikin oleh seniman Kanada, Timothy P. Schmalz, menggambarkan 120 pengungsi di atas perahu. Diberi nama “Angels Unaware”, konon saat menggagas patung ini Schmalz diilhami oleh sebuah ayat dalam Kitab Ibrani 13:2: “Jangan kamu lupa memberi tumpangan kepada orang (asing), sebab dengan berbuat demikian beberapa orang dengan tidak diketahuinya telah menjamu malaikat-malaikat”.
Ayat yang indah buat saya. Menjamu tamu asing yang sedang kesusahan sama dengan menjamu malaikat. Patung ini adalah simbol solidaritas Paus Fransiskus kepada para pengungsi. Agama memang sudah seharusnya membela orang-orang susah. Romo Markus kemudian menceritakan dengan lumayan detil sejarah pendirian basilika Santo Petrus. Saya akan ceritakan ini di seri berikutnya.
Sebelum saya “cabut”, saya mau mengucapkan: Selamat Kenaikan Yesus Kristus untuk teman-teman Kristen/Katolik. Kemaren saya lihat kesibukan di dalam basilika dan di luarnya untuk menyiapkan ribuan kursi yang ditata rapi, bahkan sampai menggunakan tali pengukur, guna menyambut hari Kenaikan Yesus Kristus (Ascensione del Signore).
Penulis: Ulil Abshar Abdalla
0 Komentar