Ciiciit
cuiit, ciciit cuiit, burung perenjak saling sapa di ranting pohon Trembesi,
gagah dan megah dijuluki, usianya sama dengan kemerdekaan negeri tercinta. Ayam
Jantan berkukuk dengan gagahnya membangunkan anak istri yang sejak malam tadi
tak berhenti saling memeluk. “kreek” suara jendela terbuka menerbangkan para
burung perenjak, kantuknya hilang, malam tadi ia menemani ayam jantan merawat
ketakutan. Desa nan ramah akan merubah wujud, tempat ketenangan harus menerima
perkembangan kemajuan zaman. “Mbah oh mbah” terdengar suara Pardi tepat di
depan pintu tetua adat, raut wajahnya gelisah. Sebagai seorang kepala desa,
Pardi sedang dilanda kecemasan tentang rencana pemoderenisasian. Beberapa warga
setuju dengan dalih kemajuan dan lapangan kerja semakin banyak, adapula yang
menolak, dengan dalih desa adalah padang hijau dan wilayah adat yang harus
tetap dijaga keberadaanya, dikhawatirkan karakter kerukunan dan saling membantu
akan hilang.
Warung
kopi kini penuh dengan percakapan dan perdebatan. Marwan berdiri gagah menatap
kesemua orang, matanya tajam mengisyarakat untuk mengajak menolak. Kaum ibu
juga tak kalah heboh, teras-teras rumah penuh dengan percakapan yang sama.
saling menyatukan pendapat, sebab sore nanti akan diadakan pertemuan di balai
desa. Pardi yang baru pulang dari rumah tetua adat langsung pergi menuju kantor
desa sembari mengamati dan mempertimbang keputusan apa yang akan dibuat.
Dipandanginya anak-anak sekolah berjalan sembari menggendong tas kain, matanya
terpaku melihat sawah yang sejak dulu sudah menghidupi keluarganya dan para
warga. Pikiran sesak membayangkan jika hamparan sawah ini akan menjadi gedung
dan pabrik yang mengeluarkan asap dan limbah yang mungkin saja akan menjadi
penyakit bagi warga desa.
Dalam langkah yang tertatih, pikirannya terbang bagai angin liar. Amarah, kebingungan dan perihatin ikut bagai bayang. Pardi khawatir warga belum siap menerima perubahan dan perkembangan zaman. Dilihatnya gubuk tua tempat dia dahulu berkumpul bersama teman-teman masa kecil. Pandangannya kaku tanpa disadari air mata jatuh tepat di paha bagai rintik hujan yang dulu selalu mengumpulkan mereka saat melakukan aktivitas di sawah. “Pak Kades, teriak Erni”. Matanya banjir, Erni sengaja mencandai karena ia tahu betul pikiran Pak Kades, Erni adalah seorang Pendamping Desa, ia adalah perpanjangan tangan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Erni
menyadari bahwa desa harus pada keaslian, ramah sejuk dan damai, dan juga harus
menjaga keoriginalan budaya yang ada. Sebagai seorang pendamping Erni memahami
benar regulasi dan arahan pemerintah pusat untuk menyongsong program Desa
Mandiri, merujuk dari data IDM (Indeks Desa Membangun) jumlah desa berstatus
mandiri 11.456, dari 81616 desa dengan status maju 23.035, desa berkembang
23.035, desa tertinggal 7.154 dan desa sangat tertinggal 4.850. dari data yang
ia pahami Indonesia dengan arahan kemendes PDTT perlu mengejar ketertinggalan
untuk menuju Indonesia Emas.
Pardi
melanjutkan perjalanan dengan hanya melempar senyum tipis kepada Erni. hari itu
keadaan desa begitu semrawut sepi senyap tidak ada aktivitas pekerjaan di sawah
dan kebun-kebun warga, semua masyarakat sibuk dengan konsumsi berita tentang
akan di ubahnya keberadaan desa, seperti buah simalakama mengikuti kemauan
pemerintah Pardi dibenci masyarakat, mengikuti masyarakat Pardi tidak mematuhi
pemerintah dan khawatir dengan generasi kedepan sulit untuk mendapatkan
pekerjaan, karena jumlah warga desa kian bertambah namun luas lahan desa tidak
akan bertambah. Pardi benar-benar dalam keadaan bingung.
Sesampainya
di kantor Pardi langsung masuk ke ruangannya tanpa sapa dan salam seperti
biasa. Irum berbisik kepada Rensii, “Bapak kelihatan sangat bingung, yuk kita
ke ruangan Bapak, mana tahu bisa kasih solusi”. Jumingan dengan suara
membencandai “Huuus duduk, biarkan saja, laki-laki kalau ada masalah memang
seperti itu, diam berpikir mencari solusi, bukan seperti perempuan, merepet,
nangis nyalahin orang lain hihihi.”, “Oalah Jumingan jarang ngomong, sekali
ngomong ngeselin, sudah siapkan saja persiapan rapat nanti sore.” ujar Irum.
“Walah gitu aja ngambekan Rum, kalau menurut kalian bagaimana desa kita kalau
diadakan pembangunan?” Tanya jumingan pada Irum dan Rensii, “Aku sendri sih
kurang setuju” jawab Irum, Rensi sendiri hanya menganggukan kepala seraya
berkata “Kita lihat kerukunan di desa ini kalau ada hajatan atau warga yang
membangun rumah, orang ikut membantu dari memasak, memasang pentas semua
dilakukan secara bersama dan suka rela kita tidak perlu membayar, Mingan.”.
Jumingan kemudian menimpali “Tetapi kita tidak mungkin akan terus seperti ini,
keberadaan dunia terus berkembang, kita tidak boleh berdiam, desa harus
berkembang.” jawabnya dengan tegas.
Waktu sudah hampir menemui zuhur, matahari berjalan menurut rotasi, jam dinding berputar mesra, tetapi belum memberi solusi. Pardi masih diam bersandar di bangku kerjanya memikirkan keputusan apa yang akan diambil. Menjadi seorang kepala desa bukan hal mudah, desa adalah kulit luar pemerintahan, bersentuhan langsung dengen lapisan masyarakat terdekat, keputusan langsung dikoreksi jika tidak tepat, perlu kebijaksanaan dan kematangan berpikir, salah keputusan dikhawatirkan bisa menimbulkan gesekan di masyarakat.
Matahari lebih condong ke Barat, para warga sudah mulai berdatangan, ketua BPD, LPM, PD, PLD Tokoh Agama, Tokoh Pendidikan, tokoh adat/budaya kelompok Tani dan Ternak, Karang Taruna, Tokoh Perempuan, Keterwakilan Pengusaha, Kaum Marjinal dan Difabel telah hadir. Pardi keluar dari ruangan menuju aula. Jumingan yang menjabat sebagai Sekdes bertanggung jawab menjadi moderator, ia membuka diskusi sore itu dengan mempersilahkan Kades membuka rapat dan akan dilanjutkan dengan kata sambutan dari pendamping Desa dan dilanjutkan sesi tanya jawab. Suara Pak Kadesi sedikit gemetar tidak seperti biasa, diucapnya salam tanpa muqadimah, sepertinya ia ingin masalah ini cepat diselesaikan.
Beliau langsung menuju
topik pembahasan “Para warga yang saya cintai serta sayangi, maksud dan tujuan
kita berkumpul di aula ini adalah untuk membahas kemajuan desa kita. Dalam
benak terdalam saya sangat mencintai desa ini dengan kerukunan dan rasa
kekeluargaan yang begitu tinggi, saya ucapkan terrima kasih yang tak terbilang
besarnya. Kita harus menjadikan desa kita berstatus mandiri sebab kita tahu
pada saat ini kita membutuhkan tambahan lapangan pekerjaan, apabila lahan
pertanian desa tetap seperti ini namun pertumbuhan masyarakat terus naik, maka
generasi penerus kita akan terlontang lantung di kota orang hanya karena ingin
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, kita bisa menciptkan lapangan pekerjaan
di desa dengan membiarkan pembangunan berjalan, anak cucu kita bisa memenuhi
kebutuhannya lebih layak tanpa harus pergi ke kota orang, mari kita singkirkan
ketakutan kita untuk kemajuan desa dan generasi mendatang, ini adalah hal yang
dapat saya tawarkan dalam rapat ini, untuk regulasi nanti akan disampaikan oleh
pendamping.” Moderator mempersilahkan Erni sebagai Pendamping Desa untuk menyampaikan
Regulasi dan pandangannya.
“Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh, masyarakat yang saya cintai, melanjut arahan dari Bapak Kades ijinkan saya menyampaikan regulasi, dalam hal ini di dalam peraturan desa untuk mencapai desa berstatus mandiri, menurut undang-undang nomor 6 tahun 2014, desa mandiri adalah desa yang mempunyai ketersedian dan akses terhadap pelayanan dasar yang mencukupi, insfratruktur yang memadai, aksebilitas/transportasi yang tidak sulit, pelayanan umum yang bagus penyelenggaraan pemerintah yang sudah sangat baik dan memiliki indeks pembangunan desa (IPD) lebih dari 75%.
Dalam hal ini juga dibutukan kemampuan masyarakat desa untuk mengelolah sumber daya yang ada, pelayanan dan sistem informasi yang baik, desa mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya. Perihal menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga ini kita akan kesulitan, sebab sama-sama kita ketahui penghasilan kita hanya dari sektor pertanian, kemampuan kita dalam mengelolah sumber daya alam juga jauh dari kata mampu, kita tidak bisa membuka lapangan pekerjaan, sebab dari itu kita perlu membuka peluang bagi perusahaan untuk mau membangun perusahaanya di desa kita tercinta agar generasi mendatang maupun kita mampu untuk mendapatkan pendapatan yang lebih layak, hal ini perlu kita diskusikan bersama agar mendapatkan solusi terbaik.” ujar Erni membuka diskusi.
Marwan
menanggapi “Bapak Kades dan Pendamping Desa, selama ini kita hidup tanpa adanya
pembanguan lapangan kerja, saya menangkap maksud dari ibu Erni kita jauh dari
kata mampu untuk mengelolah sumber daya alam, pasti akan dibangun pabrik di
desa kita, sebelum ini dilaksanakan kita perlu memikirkan efek pembangunan
pabrik, karena dapat menyebabkan pencemaran udara, lingkungan dan pergeseran
sosial masyarakat.” Marwan menyambung pendapatnya, “Bukan cuma sekadar
pencemaran udara, lingkungan, pergeseran sosial masyarakat dan budaya,
kebiasaan masyarakat yang sudah lama kita laksanakan juga dikhwatirkan memudar
akibat generasi kita terpengaruh karena terikat pekerjaan, sebelum kita
mengambil keputusan, baik tidaknya kita pikirkan dulu efek ke depannya.
Berpandang dari berbagai informasi, kita lihat beberapa daerah yang dibangun
perusahaan, namun, masih banyak masyarakat yang menganggur dan sulit untuk
mendapatkan pekerjaan, apakah kita-kita di sini bisa menjamin berapa persen
masyarakat kita yang masuk dalam perusaahaan yang akan dibangun, jangan sampai
kita hanya menjadi penonton perkembangan ekonomi yang akan dibangun di daerah
kita”.
Erni menjawab “Baik terima kasih atas pertanyaannya, menjawab pertanyaan bapak Marwan, benar selama ini kita hidup tapi kita ketahui untuk perkembangan kita sangat sulit, sumber daya manusia kita terhitung rendah, hanya beberapa dari kita yang bisa memanfaatkan sumber daya alam, untuk efek dari pembangunan. Sebelum pelaksanaan ada namanya analisis dampak lingkungan (Amdal) sehingga akan diperhitungkan segala bentuk resiko yang akan terjadi. Untuk dampak sosial masyarakat dan budaya kita akan Perdeskan, segala aturan yang akan kita sepakati bagaima kita akan menjaga budaya dan adat istiadat, sebab kita tau peraturan terkuat desa adalah Musdes dan diperdeskan berdasarkan kesepakatan, untuk peluang berapa persen tenaga kerja bisa masuk dari desa kita akan dijawab Pak Kades”.
Pardi
menambahkan “Masyarakat yang saya cintai, untuk prihal ini, dalam UU
ketenagakerjaan pasal 5 undang-undang nomor 13 tahun 2003, disebutkan bahwa
setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanda diskriminasi untuk
memproleh pekerjaan, namun hal ini masih akan terikat oleh Perda (Peraturan
Daerah) seperti daerah di kabupaten yang ada di provinsi kita, kabupaten
Mandailing Natal, Tahun 2017 tentang pemberdayaan tenaga daerah, daerah
diharuskan memberdayakan masyarakat setempat dan memiliki prioritas saat
mendaftar. maka dari itu masyarakat kita akan di utamakan”
Marwan,
“Baik terima kasih atas penjelasannya, untuk kesepakatan bersama sebaiknya
Perdes harus segera dibuat terlebih dahulu untuk mengikat peraturan di desa
kita, untuk Amdal (Analisis Dampak Lingkungan) dan Perda (Peraturan Daerah)
diminta untuk memuatnya sebelum pembangunan dilaksanakan agar kita semua punya
kepastian hak dan hukum, bagaimana Bapak/ Ibu setuju?” ucapnya kepada semua
masyarakat. “Setuju, setuju, setuju” gema suara masyarakat menyepakati
kesepakatan yang dibuat.
Mendengar
hasil diskusi dan kesepakatan di masyarakat, senyum Pardi pun mengembang
“Terima kasih untuk kesepakatan dan diskusi hari ini semoga bisa memperbaiki
kualitas desa kita serta mampu memperbaiki ekonomi masyarakat kita dan
pendapatan desa kita.” Pardi dan warga berharap dengan adanya pembangunan di
desanya membuat masyarakat lebih maju tanpa meninggalkan kearifan lokal
masyarakat desa.
Penulis:
Iman Sofian Sijabat (PLD Pagar Merbau)
0 Komentar