Gemuruh
merambat perlahan di udara nan lembab, meninggalkan bunyi dengung pada gendang
telinga untuk sesaat. Aroma tanah lembab dan dedaun lapuk yang tersapu angin,
membangkitkan ingatan tentang hujan yang kiranya akan segera merembes ke bumi.
Di bawah kepungan awan hitam, terlihat seorang pengendara sepeda motor penuh
kehati-hatian memacu sepeda motornya di jalan berliku, menuju desa kecil di
lereng gunung. Desa itu terletak di ujung utara, jika dilihat dari peta wilayah
kecamatan. Dari jalan utama Kabupaten, memerlukan waktu sekitar 75 menit untuk
sampai ke gerbang desa. Kemudian, untuk bisa sampai ke kantor desa sendiri,
harus menambah perjalanan selama 25 menit lagi. Sementara itu, jalan desa
sepanjang belasan kilometer tampak bertabur kerikil dibeberapa bagian yang
berlubang. Saat akan mendekati gerbang desa, barulah dapat menjajaki jalan cor
beton yang meliputi seluruh jalan poros desa dan jalan menuju pemukiman warga.
Pengendara
itu menghentikan motornya di depan kantor desa. Dari kartu tanda pengenal,
diketahui bahwa ia bernama Fatihah. Seorang Pendamping Teknis1 yang ditugaskan
oleh Kementrian Desa PDTT di wilayah tersebut. Setelah mengucap salam, Fatihah
meminta izin untuk memasuki ruangan kantor pada perangkat desa yang bertugas.
Kemudian duduk di salah satu sofa yang tersedia di ruang tunggu. Tidak lama
berselang, terdengar suara serak khas milik Kepala Desa yang telah dikenalnya,
menyapa dari bilik kaca yang berada tepat di seberang tempat ia duduk. “Ibu
Fatihah, ya? Silakan masuk, Bu.” Fatihah segera berdiri dan berjalan menuju
ruangan tersebut. Dengan raut penuh semangat berhias seulas senyum ramah, ia
menyapa Pak Kades yang baru saja selesai membaca koran edisi hari ini.
“Selamat
sore, Pak Kades. Sudah beberapa hari berlalu sejak kunjungan terakhir saya
kemari. Hari ini ada informasi penting yang ingin saya sampaikan pada Bapak.”
Kata Fatihah membuka percakapan. “Ya, Bu Fatihah. Ada informasi apa gerangan?”
Pak Kades buru-buru melipat koran dan menaruhnya di samping meja kerja. “Saat
perjalanan kemari, saya melewati beberapa titik lokasi yang sangat rawan
longsor. Desa kita memang terkenal dengan lanskap alam berupa tebing dan lembah
yang cukup curam. Beberapa fasilitas desa juga terletak di lokasi rawan
bencana. Misalnya saja pasar desa yang berada di arah barat daya. Pasar
tersebut berada tepat di bibir jurang yang curam dan kondisi tanahnya tidak
stabil. Apalagi saat ini telah memasuki musim hujan. Sebagai Pendamping Teknis
dari Kementrian Desa PDTT, saya menyarankan agar ada tindak lanjut dari
pemerintah desa mengenai hal tersebut, Pak Kades.” Terang Fatihah.
Baru
saja Fatihah selesai mengucapkan kalimat, tiba-tiba hujan tumpah dari langit
memenuhi ruang di bawahnya. Disambut pula oleh gelegar petir dan angin yang
bertiup berpulun-pulun hingga menggetarkan kaca jendela. Langit dalam seketika
menjadi gelap, dan suasana jadi sedikit mencekam. Belum selesai beradaptasi
dengan suasana, tiba-tiba dari luar ruangan terdengar suara heboh dari
seseorang yang setengah berteriak ke arah kantor. “Pak Kades. Pak Kades. Gawat,
Gawat!”
Seruan
tersebut ternyata berasal dari salah seorang Kepala Dusun (Kadus) yang
tergopoh-gopoh turun dari sepeda motor dengan wajah sepucat kain kafan, dan
badan yang basah kuyup. Semua orang yang berada di dalam kantor kontan jadi
terkejut dan segera berlarian menuju sumber suara. Dengan nafas yang masih
tersengal, Pak Kadus berusaha melanjutkan kalimatnya. “Gawat, Pak Kades. Pasar
Desa kita yang dekat tebing itu amblas semua kena longsor. Bangunan pasar jatuh
ke dasar jurang setinggi 15 meter bersamaan dengan orang-orang yang sedang
berjual beli disana!”
Sontak
saja Pak Kades, Fatihah dan seluruh perangkat desa kaget bukan kepalang. Baru
saja beberapa menit sebelumnya mereka akan membahas hal tersebut, namun takdir
malang tak dapat ditolak. Hampir serempak mereka mengucapkan kalimat duka,
‘Innalillahi wa inna ilaihi rojiun’. Pak Kades bergegas mengambil telepon
genggam dari atas meja kerjanya menghubungi pihak Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Kabupaten, untuk berkoordinasi mengenai bencana longsor yang baru
saja terjadi. Fatihah pun tidak tinggal diam. Ia berusaha menghubungi
rekan-rekannya sesama Tenaga Pendamping Profesional (TPP) yang sedang bertugas,
untuk memberitahukan perihal bencana longsor di desa tersebut. Pendamping Desa
(PD) dan Pendamping Lokal Desa (PLD) berinisiatif untuk menjadi relawan dalam
penanggulangan bencana longsor dengan mengumpulkan seluruh sumber daya
masyarakat dan sumber daya alam yang ada, guna membantu masyarakat desa yang
tertimpa musibah.
“Bu
Fatihah, Pak Kadws dan seluruh perangkat desa, ada yang harus kita diskusikan
bersama terkait keadaan darurat ini.” Suara serak Pak Kades memecahkan riuh
panik yang bergema dalam ruangan kantor desa. “Pertama saya ingin konfirmasi
dulu berita dari Pak Kadus. Seberapa parah kondisi saat ini dan berapa jumlah
warga yang menjadi korban?” Lanjut Pak Kades. “Dalam perjalanan kesini saya
menyusuri jalan di bawah tebing dekat pasar desa. Ketika hujan lebat turun
dengan tiba-tiba, saya mendengar suara gemuruh dari atas tebing disusul
bongkahan batu dan tanah. Saya langsung memacu motor untuk menghindari bencana
longsor dan melapor kesini untuk minta bantuan, Pak Kades.” Terang Pak Kadus
dengan nafas berat.
Raut
wajah Pak Kades mengerut kecut. Jika didengar dari penjelasan Pak Kadus tadi,
berarti ada puluhan warga yang terdampak bencana longsor tersebut dan masih
belum diketahui kondisinya saat ini. Pak Kades lalu menoleh ke arah Fatihah. “Bu
Fatihah, saya ingin minta pendapat Ibu sebagai Pendamping Teknis. Apa langkah
efektif yang dapat kita tempuh saat ini dengan memanfaatkan Dana Desa2?” Tanya
Pak Kades dengan nada mendesak. “Saya sudah berkoordinasi dengan pihak
Kecamatan dan rekan-rekan PD dan PLD mengenai situasi saat ini. Relawan sudah
dikerahkan dari berbagai pihak yakni Pemerintah Kecamatan, Kelompok Siaga
Bencana dan seluruh lapisan masyarakat. Dana Desa yang bisa kita gunakan
bersumber dari alokasi dana Penanggulangan Bencana yang sudah dianggarkan
sebelumnya. Bisa juga dengan memanfaatkan Dana Operasional Pemerintahan Desa3
untuk sewa Ambulans dan biaya operasional lainnya, Pak Kades.” Fatihah lanjut
menjelaskan.
Pak
Kades mengangguk kecil mendengarkan penjelasan dari Fatihah dan tak berapa lama
kemudian mulai berbicara. “Hari ini kita dapat musibah tanah longsor yang
melanda pasar desa. Saya sebagai Kepala Desa, Pak Kadus dan Bu Fatihah akan
berangkat menuju titik longsor. Salah seorang perangkat desa harus tetap
tinggal di kantor untuk memastikan komunikasi pihak pemerintah desa dapat
berlangsung lancar. Dan jangan lupa, kita harus saling berbagi kabar terbaru
via aplikasi di media sosial maupun lewat telepon.”
Selesai
Kepala Desa memberikan instruksi, mereka kemudian berangkat menuju lokasi
bencana. Sementara itu peralatan tanggap bencana dan perlengkapan P3K yang ada
di kantor desa, dibawa menggunakan becak motor yang biasa digunakan untuk
mengangkut sampah warga. Dalam situasi tersebut, tentu saja becak motor dan
peralatan tanggap bencana yang dibeli menggunakan Dana Desa, terasa sangat
berguna.
Sesampainya
di lokasi bencana, Pak Kades dan perangkat desa segera berbaur dengan tim BPBD
dan Kelompok Siaga Bencana untuk membantu evakuasi korban longsor yang masih
terjebak diantara tanah dan material bangunan. Sedangkan Fatihah terlihat
sedang mengumpulkan beberapa orang relawan untuk berbagi tugas. Dengan adanya
koordinasi dan pembagian tugas seperti ini, diharapkan pendistribusian makanan
dan obat-obatan pada para penyintas longsor di tenda pengungsian berlangsung
lebih cepat dan tepat.
Di
tengah guyuran hujan yang begitu derasnya, evakuasi korban tanah longsor dirasa
semakin sulit. Tenda pengungsian tak lagi memadai dan bahan makanan serta
obat-obatan sudah habis. Para relawan masih berjibaku menolong para korban yang
berteriak minta tolong dari balik reruntuhan pasar desa. Tak hanya tanah dan
lumpur, batu besar dari atas tebing ikut bergulir turun sehingga menyulitkan
relawan dan tim penyelamat untuk bergerak.
Waktu
serasa berjalan amat lamban hingga akhirnya terdengar gema adzan isya
berkumandang dari surau di kejauhan. Perlahan hujan deras dan angin kencang
juga mulai mereda. Dari ujung jalan di sebalik reruntuhan tebing, terdengar
suara deru mesin ekskavator beriring Ambulans dengan sirine menyala. Bantuan
yang ditunggu akhirnya tiba! Dua truk besar mengangkut bahan makanan, pakaian
dan obat-obatan yang dipasok dari desa tetangga juga sampai tepat pada
waktunya, disambut takbir dan ungkapan syukur tak terhingga pada Tuhan Yang
Maha Kuasa.
Setelah
proses penyelamatan dan evakuasi korban longsor selesai, Pak Kades melaksanakan
rapat darurat bersama Camat, BPBD, Kelompok Siaga Bencana dan Tenaga Pendamping
Profesional. Rapat tertutup ini membahas tentang progres penyelamatan korban
terdampak bencana longsor, total kerugian materil dan langkah-langkah strategis
untuk pembangunan kembali pasar desa. Terakhir penunjukan juru bicara yang akan
menyampaikan hasil rapat tersebut kepada masyarakat luas melalui pers dan media
sosial. Juru bicara yang ditunjuk adalah Kepala Desa.
Seusai
melaksanakan rapat di posko darurat, Pak Kades terlihat berjalan keluar posko.
Setelah mengambil posisi di hadapan para wartawan yang telah hadir di lokasi
bencana untuk meliput peristiwa, Pak Kades mulai menyampaikan hasil rapat
darurat tadi. “Jumlah korban yang terdampak bencana longsor ada 87 orang yang
sebagian besarnya adalah kaum ibu lanjut usia. Kerugian materil kami perkirakan
sebesar Rp 700.000.000 yang berasal dari robohnya gedung pasar desa semi
permanen, serta kerusakan dagangan para pedagang. Setelah berkoordinasi dengan
berbagai pihak, termasuk Tenaga Pendamping Profesional dari Kementrian Desa
PDTT, kami dari pemerintahan desa akan merelokasi pasar desa ke tempat yang
sudah ditentukan. Selanjutnya kami akan melakukan pembangunan Tembok Penahan
Tanah (TPT) di sepanjang lokasi tebing agar tidak ada lagi kejadian serupa di
masa nanti.”
Pak Kades memaparkan dengan nada tenang dan
sorot mata yang teduh, seolah ingin menetralisir hiruk pikuk suasana. Para
wartawan tampak sibuk merekam setiap kata yang disampaikan Pak Kades dan
mengajukan pertanyaan dengan tertib. “Sehubungan pembangunan Tembok Penahan
Tanah yang bapak sampaikan tadi, bagaimana nanti prosesnya, Pak? Apakah desa
memiliki dana untuk membangun TPT tersebut, karena tentu biayanya tidak
sedikit.” Tanya salah seorang wartawan pada Pak Kades.
“Saat
rapat tadi kami juga berdiskusi dengan Ibu Fatihah, Pendamping Teknis dari
Kementrian Desa PDTT. Beberapa hari lagi pemerintahan desa akan menjadwalkan
musyawarah khusus terkait pembangunan TPT ini bersama Pendamping Desa,
Perangkat Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD)dan unsur masyarakat yang
menjadi korban longsor pada hari ini. Dana untuk pembangunan TPT ini bisa
dianggarkan dari Dana Desa yang akan kami alokasikan pada Perubahan Anggaran
Pendapatan Belanja Desa tahun ini. Demikian penyampaian hasil rapat kami
terkait kejadian luar biasa ini. Mohon dukungan dan bantuan dari berbagai pihak
demi kelangsungan pembangunan kembali pasar desa kami. Sekali lagi kami
haturkan terima kasih.” Terang pak Kades dengan penuh wibawa.
Seminggu
telah berlalu sejak musibah tanah longsor memporak-porandakan pasar desa. Hari
ini diadakan musyawarah khusus terkait Perubahan APB Desa yang membahas rencana
pembangunan Tembok Penahan Tanah dan pembangunan kembali pasar desa. Pada
musyawarah kali ini, Fatihah berperan sebagai fasilitator sekaligus narasumber
terkait rencana pembangunan tersebut. Fatihah sebagai Pendamping Teknis dari
Kementrian Desa PDTT berkewajiban menyampaikan amanah Undang-Undang Desa Nomor
6 Tahun 2014 dan Prioritas Penggunaan Dana Desa. Prioritas yang digarisbawahi
yaitu pemulihan ekonomi masyarakat yang salah satunya melalui penyelenggaraan
BUM Desa dan pembangunan pasar desa. Tak lupa pula Fatihah merangkul para Kader
Teknis Desa dan masyarakat pada umumnya untuk melaksanakan kegiatan pembangunan
secara swakelola dan berpedoman pada Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Desa yang
berlaku.
Musyawarah
berlangsung khidmat, tertib dan lancar. Para peserta musyawarah menerima hasil
keputusan musyawarah mufakat dengan hati terbuka dan diakhiri tepuk tangan
meriah. Fatihah yang duduk di bangku depan tampak berusaha menahan bulir bening
di matanya agar tak menetes. Bencana tanah longsor itu memang masih menyisakan
luka dan duka bagi warga desa. Namun dengan semangat kekeluargaan dan gotong
royong, akhirnya beban berat pun dapat dipikul bersama-sama. Seketika itu ada
hal penting yang melintas cepat di benak Fatihah. Sepenggal lirik lagu! Ya,
sepenggal lirik dari lagu Mars Pendamping Desa tiba-tiba menyeruak ruang
ingatan dan menggema dalam sanubarinya.
Penulis: Fitra Hasane
0 Komentar