Moses ben Maimon, dikenal sebagai Rambam atau Maimonides, Rabi Yahudi yang menjabat sebagai dokter pribadi Sultan Saladin (Salahuddin al-'Ayyubi, tokoh Perang Salib terkenal yang menjadi lawan --sekaligus sahabat yang dihormati oleh-- raja Richard I 'The Lionhearted/Si Hati Singa' dari Inggris), menulis untuk mereka yang telah menggeluti ilmu dan filsafat dan berargumen bahwa ilmu/filsafat tidak bertentangan dengan agama.
Karya berbahasa Arab berjudul دلالة الØائرين oleh pemikir besar yang di Barat dipanggil Moses Maimonides ini merupakan sumbangsih bagi dunia filsafat yang saat itu masih dilanda kegelapan (abad pertengahan Eropa). Karya-karya besarnya yang lain bertema "Pelajaran Taurat" untuk agamanya sendiri sangat ensiklopedik, rinci dan rasional, yang ia klaim sebagai 'cukup lengkap hingga seseorang tak memerlukan kitab lain' dipelajari hingga saat ini.
Maimonides lahir di Cordova, Spanyol, pada tahun 1138. Dia lahir dari keluarga terkenal, yang sangat otoritatif di lingkungan Yahudi di Andalusia. Maimonides belajar beragam sumber intelektual Yahudi, semisal Mishnah, Talmud, dan Midrashdari ayahandanya, Maimoen, seorang ahli hukum Yahudi. Sejak kecil, Maimonides juga belajar lintas ilmu: astronomi, pengobatan, matematika, filsafat, dan tentu saja mulai belajar bahasa.
Pada saat itu, kawasan Andalusia di bawah kepemimpinan politik dari pemimpin muslim. Tentu saja, saat itu, terjadi interaksi yang harmonis antara orang muslim, Yahudi dan Nasrani di Andalusia, masa kegemilangan peradaban muslim. Namun, pada tahun 1148, terjadi kekacauan politik, hingga keluarga Maimonides mengungsi dari Cordova, menetap di Fez, Maroko, sejak 1160.
Penguasa Al-Mohad (Al-Muwahhidun), yang berkuasa di kawasan Afrika Utara, mengekspansi wilayah kekuasaan ke kawasan Maroko dan kemudian Andalusia. Abu Ya’qub Yusuf sebagai penguasa pertama Dinasti Muwahhidun, dari tahun 1153-1184.
Sayangnya, kebijakan politik al-Mohad di Andalusia, tidak terlalu bijak dalam keragaman agama. Abu Ya’qub Yusuf memerintah orang-orang Yahudi untuk memeluk Islam, sebagai kebijakan politik.
Di tengah kekacauan politik itu, keluarga Maimonides memilih pindah untuk mencari ketentraman. Maimonides kemudian berkelana menyebarkan gagasan. Ia bersama keluarganya pindah ke Mesir pada tahun 1166, dan kemudian menetap di Fustat, di kawasan Kairo.
Ia mulai dikenal sebagai pemikir penting yang mayshur di lingkungan Yahudi dan Islam, sejak mempublikasikan Misneh Torah. Kitab ini menjadi karya penting Maimonides, yang membahas tentang hukum dan etika Yahudi, yang bersumber dari kitab suci Taurat. Pada satu bagian di Kitab pertama, “Kitab Pengetahuan”, yang membahas empat landasan dari filsafat Yahudi, Maimonides mengulas tentang moralitas, pentingnya mengkaji kitab suci, hukum penyembahan, serta pentingnya taubat.
Maimonides juga menyebut tentang peran penting Messiah, pada kitab keempat belas, tentang hukum. Menurutnya, Messiah atau penyelamat akan muncul di dunia, menata kedaulatan bagi Israel sebagai negara orang Yahudi, membangun perdamaian dengan negara-negara lain, serta memimpin kajian dan riset-riset strategis di bidang sains dan ilmu pengetahuan.
Di Mesir, Maimonides mengalami problem ekonomi, setelah ayahandanya meninggal. Ia kemudian menjadi tulang punggung keluarga, dan kemudian memperdalam profesi sebagai ahli pengobatan. Keahliannya sebagai ahli pengobatan, menjadikannya cepat terkenal di kawasan Mesir. Berkat keahlian ini, Maimonides diangkat sebagai penasihat kesehatan Sultan Saladin, pemimpin militer penting dari dunia muslim. Keahliannya di bidang pengobatan, menjadikan Maimonides sebagai rujukan untuk masalah kesehatan bagi warga kawasan Fustat, serta menjadi pengajar dan ahli di sebuah rumah sakit.
Maimonides sudah menulis sejak usia muda, 16 tahun. Pada usia itu, ia mempublikasikan karya dalam bahasa Yahudi, Millot ha-Higgayon(karya tentang Terminologi Logika), yakni sebuah karya yang membahas tentang bermacam terminologi teknis di bidang logika dan metafisika. Karya lain yang ia tulis pada usia remaja, yakni Ma’amarha’ibur, esai tentang Kalender.
Pondasi intelektual Maimonides yang kuat, mendorong dia menghasilkan karya penting dalam tradisi pengetahuan Yahudi, Islam dan Nasrani. Pada usia 23 tahun, ia menulis Kitab al-Siraj, sebuah komenter terhadap Mishna. Dalam tradisi Yahudi, Mishna, atau disebut juga Mishnah atau Mishnayot, kompilasi hukum Yahudi. Dalam studi tentang hukum, Maimonides juga menulis beberapa karya lain yang lebih ringkas dari Mishneh, yakni: Sefer ha-mizwot(Kitab tentang Ajaran) dan Hilkhot ha-Yerushalmi(Hukum-Hukum Jerusalem), keduanya ditulis dalam bahasa Hebrew/Ibrani.
Karya penting Maimonides yang membahas filsafat agama, Dalalat al-haairin(Moreh nevukim), ditulis sejak tahun 1176, yang menghabiskan waktu sekitar 15 tahun. Karya ini mengkaji secara rasional nilai-nilai Yahudi, yang meliputi sains, filsafat dan agama. Kitab ini awalnya ditulis dalam bahasa Arab, dan kemudian dikirim ke muridnya, Yusuf bin Aknin (Joseph ibnu Aknin), yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Ibrani, Latin dan beberapa bahasa Eropa.
Karya-karya Maimonides, terutama dalam bidang filsafat dan logika, mempengaruhi intelektual besar setelahnya, semisal Benedict de Spinoza (1632-1677) dan GW Leibniz (1646-1716). Karya penting Maimonides serta pengabdian hidupnya, juga mempengaruhi karya-karya intelektual yang membangun peradaban Islam. Di samping, ia juga menggali pemikiran-pemikiran dari Ibnu Sina, Alfarabi, dan Ibn-Rusyd, dalam merekonstruksi gagasan orisinalnya.
Di kalangan intelektual Yahudi, Moses ibnu Maimon juga diyakini pindah agama, menjadi muslim. Hal ini terjadi, ketika Dinasi Al-Muwahhidun menguasai Maroko dan Spanyol. Akan tetapi, terjadi perdebatan apakah ia meneruskan menjadi muslim atau kembali memeluk Yahudi. Namun, yang jelas, Moses ibn Maimon, memiliki pengaruh penting dalam tradisi intelektual Yahudi dan Islam, dalam disiplin filsafat, logika dan ilmu pengobatan.
Kesempurnaan Manusia
Maimonides menawarkan beberapa resep untuk mencapai kesempurnaan diri. Ia sangat menekankan pentingnya bagi orang untuk menjauhkan dirinya dari masyarakat, atau apa yang disebutnya sebagai isolasi sosial (social isolation). Ia juga menekankan pentingnya orang untuk melepaskan diri dari benda-benda inderawi ataupun material. Dengan mencapai kesempurnaan orang akan dapat semakin dekat dengan Tuhan. Persentuhan dengan materi membuat manusia jauh dari Tuhan. Oleh karena itu persentuhan dengan materi, dalam arti bekerja, hanya dilakukan seperlunya saja untuk membantu manusia memenuhi kebutuhannya.
Dalam hal ini Maimonides memiliki pandangan yang unik tentang konsep manusia dan konsep kerja. Baginya kedua hal itu tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai kesempurnaan setiap orang haruslah “memandang Tuhan sambil ia beraktivitas dengan tubuhnya.” Artinya sambil ia bekerja dengan tubuh untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya, ia tetap terhubung dengan Tuhan secara intelektual. Ini adalah cara berpikir seorang pemimpin. Para pemimpin menjaga terus keseimbangan dua bentuk identitas di dalam kehidupannya. Di satu sisi ia tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Dan di sisi lain, ia tetap terhubung dengan Tuhan melalui akal budinya, bahkan ketika tubuhnya bekerja.
Orang perlu mati secara fisik, sehingga jiwanya bisa bertemu dan menyentuh Tuhan. Hal ini hanya dapat dicapai, jika orang bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk melakukan kontemplasi intelektual. Kontemplasi semacam ini sebenarnya bukan hanya kegiatan akal budi semata, tetapi terlebih merupakan tindakan cinta yang penuh hasrat (passionate love). Maimonides menyebutnya sebagai “ciuman Tuhan” (God’s kiss). Orang yang mengalami kematian tubuh sebenarnya tidak mati dalam arti sebenarnya. Sebaliknya ia justru diselamatkan dari kematian, dan mengalami hidup yang sebenarnya. Ia akan mengalami kenikmatan dan kebahagiaan sejati, yang sangat berbeda dari kebahagiaan badaniah yang sifatnya sementara.
Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa bagi Maimonides, kesempurnaan tertinggi manusia adalah kesempurnaan intelektual. Kesempurnaan ini tidak dapat diperoleh secara kolektif, melainkan hanya secara individual. Dengan kata lain hanya individulah yang bisa memperolehnya, berkat usahanya sendiri. Hukum-hukum di dalam tradisi Yahudi mengajarkan orang untuk mencapai kesempurnaan etis. Kesempurnaan etis ini bisa diperoleh, jika manusia hidup aktif dalam masyarakat. Namun kesempurnaan etis itu bukanlah tujuan, melainkan hanya alat untuk mencapai kesempurnaan intelektual. Tujuan hidup manusia menurut Maimonides, sebagaimana ditafsirkan oleh Kreisel, adalah untuk mengenali dan semakin serupa dengan Tuhan. Itu semua dapat terjadi, jika manusia menjalankan hukum-hukum Tuhan. Secara singkat Kreisel menjabarkan dua inti hukum Yahudi, yakni keadilan dan kebaikan hati.
Tujuan hidup manusia adalah mencapai kesempurnaan, dan kesempurnaan itu hanya dapat dicapai, jika manusia semakin menyerupai sifat-sifat Tuhan yang baik hati sekaligus adil. Kesempurnaan intelektual juga merupakan perwujudan dari Tuhan. Maka usaha manusia untuk mendekati Tuhan dan untuk mencapai kesempurnaan intelektual adalah dua hal yang saling terkait. Dapat pula disimpulkan bahwa manusia yang sempurna mampu memancarkan keadilan dan kebaikan hati Tuhan di dalam aktivitas kesehariannya menghadapi masalah-masalah dunia. Manusia yang sempurna mampu menjalankan kehidupan dunia yang imanen dengan keutamaan ilahi yang transenden.
0 Komentar